WISUDA ANGGOTA JAMAYYKA

Selamat kepada uni Nora Hilmasari, S.H.

WISUDA ANGGOTA JAMAYYKA

Selamat kepada uni Nora Hilmasari, S.H.

NONTON BARENG JAMAYYKA

Sepatu Dahlan at Sinema 21 Amplaz

JALAN-JALAN JAMAYYKA

Gunung Api Purba Nglanggeran.

Sabtu, 19 Mei 2012

Model Nahi Mungkar yang Mungkar

Saat menjabat sebagai khalifah, Umar bin Khattab suatu kali berjalan-jalan menyusuri Madinah. Begitu sampai di suatu sudut kota, Khalifah Umar mendapati suatu rumah yang beliau curigai sedang dipakai untuk bermaksiat. Sang Khalifah ingin mengecek untuk memastikannya, tapi rumah itu tertutup rapat. Ahirnya beliau memaksa masuk melalui atap. Dan benar saja, tuan rumah sedang asik bermaksiat di rumahnya. Langsung saja Khalifah Umar menghentikankannya, dan hendak menangkapnya. Anehnya, pemilik rumah justru tidak terima. Ia mengakui memang telah berbuat dosa. Tapi menurutnya dosanya cuma satu. Sedangkan perbuatan Umar yang masuk rumahnya lewat atap justru melanggar tiga perintah Allah sekaligus. Yakni, mematai-matai (tajassus) yang jelas dilarang dalam AlQur’an (Q49:12); masuk rumah orang lain tidak melalui pintu seperti yang diserukan Qur’an (Q2: 189); dan tanpa mengucapkan salam, padahal Allah memerintahkannya (Q24: 27).
Menyadari kesalahan tindakannya, Khalifah Umar akhirnya melepaskan orang tersebut dan hanya menyuruhnya bertobat. Pelajaran apa yang bisa kita petik dari cerita yang dikutip Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din (II: 320) tersebut? Umar, dalam kapasitasnya sebagai kepala negara saat itu, mestinya punya otoritas yang sah untuk mencegah kemunkaran yang dilakukan salah seorang rakyatnya. Namun berhubung cara nahi munkar beliau terbukti melanggar aturan Tuhan, pelaku maksiat tersebut akhirnya lolos. Moral story: mencegah kemungkaran haruslah dijalankan dengan cara yang tidak munkar.
Kisah di atas kiranya relevan sekali untuk bahan rujukan manakala kita berbicara tentang Front Pembela Islam (FPI) yang senantiasa menempuh jalan kekerasan dalam aksi-aksinya. Dalam berbagai kesempatan , Rizieq Shiha, pimpinan FPI, membenarkan vigilantisme kelompoknya dengan dalih bahwa negara dan aparat peneguk hukum yang ada dianggap gagal atau lembek dalam memberantas kemaksiatan. Akibatnya, kemaksiatan semakin merajalela. Karena itulah ia dan organisasinya merasa sah untuk turun tangan. Begitulah, dengan alasan menjalankan misi nahi munkar, ormas Islam radikal ini merazia dan merusak kafe, hotel, dan kantong kebudayaan yang mereka tengarai menjadi tempat kemaksiatan. Dengan alasan yang sama, mereka juga menyerang kelompok keagamaan yang mereka tuduh sesat dan kafir.
Yang terakhir terjadi adalah penggerudukan FPI ke Salihara untuk membubarkan diskusi pemikiran Irshad Manji, yang mereka tuduh menghalalkan lesbianisme. Di mata FPI, tindak kekerasan mereka justru Islami karena didasarkan pada hadits Nabi yang cukup populer tentang nahi munkar: “Sesiapa melihat kemunkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangan. Jika tidak mampu, maka dengan lesan. Jika tidak mampu juga, maka dalam hati. Yang terakhir itulah selemah-lemahnya iman.” Bagi FPI, jalan kekerasan merupakan manifestasi dari pengamalan perintah Nabi untuk “mengubah kemunkaran dengan tangan (falyughayyirhu biyadih),” yang mencerminkan keimanan yang paling kuat dan tegas. Makanya tidak heran kalau dukungan terhadap FPI juga muncul dari sejumlah kalangan Islam di luar FPI, dari ustadz sampai orang awam. Tapi seberapa jauh alasan FPI bisa diterima dari sudut pandang Islam? Apakah kemunkaran niscaya identik dengan kemaksiatan seperti digambarkan FPI? Apakah cara main hakim sendiri dengan dalih nahi munkar bisa dibenarkan? Dan di atas semua itu, apakah klaim FPI sebagai agen penegak nahy munkar bisa dibenarkan dari perspektif doktrin dan sejarah Islam? FPI mengartikan kemunkaran sebagai identik dengan kemaksiatan. Tapi benarkah demikian?
Dari kisah Umar bin Khattab di awal tulisan, kita bisa menyimpulkan bahwa kalau ada orang bermaksiat di rumah sendiri secara tertutup dan tersembunyi dari mata publik, maka perbuatannya sama sekali bukan menjadi urusan publik. Negara, masyarakat, ataupun individu lain tidak punya hak untuk mengintervensi rumah seseorang. Bahkan memata-matai, mengintai, atau menelisiknya saja tidak dibenarkan. Dengan kata lain, kemaksiatan yang tidak kelihatan oleh tatapan publik tetaplah kemaksiatan, tapi tidak bisa diinvasi orang lain dengan dalih nahy munkar. Apa yang terjadi di dalam ruang privat yang tertutup sepenuhnya menjadi urusan si pelaku dengan Tuhan. Kalaupun ia bermaksiat, ia sendiri yang menanggung dosanya. Hal itu karena apa yang disebut munkar bertaut erat dengan kepublikan.
Di sini saya sepakat dengan pendapat Dr. Moch Nur Ichwan, M.A (Dosen UIN sunan Kalijaga-Yogyakarta) dalam artikelnya tentang amar ma’ruf dan nahy munkar yang dimuat dalam Dinamika Kebudayaan dan Problem Kebangsaan: Kado 60 Tahun Musa Asy’arie (2011). Di situ dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini memaknai amar ma’ruf dan nahy munkar sebagai etika sosial atau etika publik. Ia menjelaskan, term ma’ruf dan munkar sebenarnya sudah ada sebelum Islam, dan erat kaitannya dengan urf (adat kebiasaan yang baik) yang terbentuk berdasarkan kearifan budaya setempat (local wisdom). Ketika diserap oleh Islam, kedua term tersebut mengalami transformasi menjadi etika Islami yang spiritnya dibimbing oleh wahyu, dan pada pada saat yang sama mengacu pada kebaikan dan keburukan yang diketahui melalui akal sehat dan kearifan kemanusiaan pada suatu masa dan waktu tertentu.
Singkatnya, amar ma’ruf nahy munkar dalam pandangan Nur Ichwan berporos pada perjuangan nilai-nilai bersama demi kemaslahatan bersama, sedangkan nahy munkar adalah eliminasi dosa-dosa sosial yang mengancam kemaslahatan publik. Dimensi kemaslahatan publik inilah yang dalam kenyataannya diabaikan oleh FPI dalam aksi-aksinye memberantas kemunkaran. Seberapa jauh ormas partikelir seperti FPI punya lisensi untuk mengangkat diri sendiri sebagai eksekutor nahy munkar? Hadits yang saya kutip di atas memang memberi kesan bahwa mengubah kemunkaran adalah kewajiban setiap muslim. Dari sinilah barangkali FPI merasa bahwa kekerasan adalah bagian dari upaya menjalankan misi mengubah kemunkaran “dengan tangan”.
Tapi masalahnya, kalau setiap orang merasa punya wewenang untuk mengubah kemunkaran “dengan tangan,” maka yang kemudian terjadi adalah menjamurnya ormas Islam, semua dengan bendera nahi munkar, tapi masing-masing punya agendanya sendiri, dengan disokong laskarnya sendiri. Situasi seperti ini pada gilirannya bisa mengancam ketertiban umum dan memicu kekacauan politik dan anarki dalam masyarakat, suatu situasi yang justru dianggap momok paling mengerikan sepanjang sejarah politik masyarakat muslim. Kita ingat ungkapan terkenal Al-Mawardi, pemikir politik Islam klasik: “seribu tahun di bawah tirani lebih baik dari sehari dalam anarki.” Atas dasar itulah maka penegakan nahy munkar sepanjang sejarah dinasti-dinasti Islam tidak dipercayakan pada orang perorang atau kelompok swasta, melainkan menjadi wilayah kekuasaan negara. Dengan kata lain, lembaga nahy munkar adalah lembaga publik. Asumsinya, karena amar ma’ruf nahy munkar berporos pada kemaslahatan publik, maka aneh kalau penanganannya diserahkan kepada pihak swasta. Lembaga publik ini lazim dikenal wilayatul hisbah.
Di sini saya perlu buru-buru menambahkan bahwa saya bukannya menyetujui keberadaan wilayatul hisbah dihidupkan lagi. Saya berpendapat bahwa pembentukan wilayatul hisbah sebagai polisi syari’ah seperti yang terjadi di Aceh adalah sebentuk salah kaprah dalam penerapan syari’ah. Perlu diketahui, wilayatul hisbah bukanlah institusi yang secara otentik lahir dari rahim Islam. Lembaga tersebut baru terbentuk pada masa dinasti Abbasiyah, sebagai hasil dari adopsi lembaga pengontrol pasar yang sudah berkembang lebih dulu di Yunani Kuna, yang bernama agoranomos. Dan memang wilayatul hisbah pada awalnya bukanlah polisi syari’ah dalam artinya yang kita kenal sekarang. Tugas utamanya pada mulanya lebih untuk mengontrol pasar agar transaksi ekonomi di situ berlangsung secara fair dan adil. Tapi lama-lama tugas lembaga ini meluas, mencakup kontrol atas perilaku dan moralitas di tempat publik.
Pada masa dinasti-dinasti Islam, keberadaan wilayatul hisbah sebagai agen nahy munkar boleh jadi merefleksikan aspirasi publiknya, yang memang homogen. Tapi untuk diterapkan dalam konteks saat ini, wilayatul hisbah malah mencederai aspirasi publiknya, yang cenderung heterogen. Tapi lepas dari itu, poin yang ingin saya tekankan adalah bahwa lembaga nahy munkar adalah lembaga publik, yang dibentuk dan diresmikan oleh negara. Ini berarti, pengertian mengubah dengan “tangan” mestinya diartikan sebagai “kekuasaan.” Dengan demikian, klaim FPI sebagai lembaga nahy munkar sebenarnya tidak punya dasar yang kukuh ditinjau dari perspektif sejarah Islam. dalam konteks Indonesia, saya malah cenderung menganggap bahwa lembaga nahy munkar yang sah bukanlah FPI melainkan lembaga semacam KPK. Hal lain yang juga bermasalah pada FPI adalah kecenderungannya untuk selalu menghalalkan kekerasan dalam aksi-aksi mereka.
Ditinjau dari sudut pandang hukum Islam, tindakan semacam itu sama sekali tak bisa dibenarkan. Dalam al-qawa’id a-fiqhiyah (legal maxims), terdapat kaidah yang menyatakan: al-dlararu yuzalu (kemudaratan mesti dihilangkan). Tapi ada juga kaidah lain yang berbunyi: al-dlarar la yuzal bi al-darar (kemudaratan tak boleh dihilangkan dengan kemudaratan yang lain). Dan patut diingat, dua kaidah tersebut mesti dipahami sebagai satu kesatuan. Dengan bersandar pada dalil di atas, kita bisa mengatakan bahwa kemunkaran mesti dihilangkan karena kemunkaran adalah bagian dari kemudaratan. Tapi pada saat yang sama, kemunkaran tidak boleh dihilangkan dengan kemunkaran yang lain. Artinya bisa bercabang dua: kemunkaran tidak bisa dihilangkan dengan cara yang munkar; dan juga, kemunkaran tidak bisa dihilangkan dengan cara yang justru melahirkan kemungkaran baru. Dengan menghalalkan kekerasan, FPI sejatinya mengidap dua jenis kemungkaran sekaligus: memakai cara yang mungkar, yakni kekerasan dan main hakim sendiri; yang kedua: memunculkan kemungkaran baru, yang bisa jadi lebih parah (keresahan dan anarki sosial). Jadi, kalau kita punya komitmen serius untuk menegakkan nahy munkar di negeri ini, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah memberantas kemungkaran FPI.
* Ali Usman -Yogyakarta

Jumat, 18 Mei 2012

Legalisasi RUU-KKG, Relevankah?


Sejak mencuatnya Rancangan Undang-Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG), publik mulai disibukkan dengan beragam sikap yang beragam. Berbagai kalangan beranggapan bahwa RUU KKG patut untuk diperjuangkan, karena secara universal RUU ini jelas mengusung tentang pemenuhan hak azazi manusia khususnya perempuan. Di sisi lain, RUU ini ditentang dengan dalih bahwa isi atau materi dalam RUU KKG tidak sejalan dengan semangat Pancasila dan Agama.

Menurut rekam jejak dari beberapa narasumber terkait menyebutkan, sebelum di kembangkannya rumusan tentang RUU KKG ini, sebenarnya hukum di Indonesia telah mengatur juga tentang Pengarus Utamaan Gender (PUG) sebagai salah satu strategi untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Pasal ini ditetapkan melalui Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang PUG dalam Pembangunan Nasional. Sebagai tindak lanjut, dikeluarkan Kepmendagri Nomor 132 Tahun 3003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarus Utamaan Gender dalam Pembangunan daerah yang kemudian diperbaharui dengan Permendagri Nomor 15 Tahun 2008.

Namun dalam perkembangannya, hingga saat ini upaya PUG dalam pembangunan masih menunjukkan kemajuan yang sangat lambat. Begitu juga dengan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 sebagai dasar hukum implementasi PUG tidak terdapat dalam tata urutan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, dirasa penting untuk mewujudkan sebuah Undang-Undang yang secara khusus mengatur mengenai Pengarus Utamaan Gender, pada kontek ini adalah Rancangan Undang-Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender.

Dengan adanya RUU KKG ini diharapkan akan menjadi payung hukum yang akan menguatkan kedudukan perempuan setara dengan laki-laki, baik dalam pemanfaatan hasil pembangunan maupun dalam memperoleh sikap positif dalam kehidupan bermasyarakat. RUU KKG juga akan menjadi acuan hukum secara kompherensif yang yang menjamin terlaksananya kehidupan kesetaraan gender dan menguatkan undang-undang dan aturan hukum sebelumnya, seperti Undang-Undang Perkawinan 1/1974, Undang-Undang PKDRT 23/2004 dan sebagainya. Namun semenjak di sosialisasikannnya RUU KKG oleh DPR RI melalui acara hearing dengan berbagai lembaga dan organisasi kemasyarakatan, rupanya kebijakan ini kurang disambut baik oleh beberapa elemen masyarakat, termasuk diantaranya tokoh ulama dan akademisi.

Dalam perspektif berbeda, salah seorang Doktor dari civitas akademik UIN Sunan Kalijaga melihat, bahwa RUU KKG sejalan dengan konsep teologis yang diajarkan Islam. Dalam Al Qur’an konsep ini disebut ad-Din al-Qayyim. Konsep ad-Din al-Qayyim dalam Al Qur’an adalah rangka bangunan dalam doktrin Islam sebagai upaya untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang syarat dengan rahmatan lil’alamain. Konsep ini juga mengajarkan bagaimana seharusnya manusia menjalankan ajaran-ajaran agama dalam penegakan keadilan bagi sesamanya di dunia dan akhirat. Dengan demikian, indikator dari standar ad-Din al-Qayyim yaitu kesesuaiannya dengan fitrah manusia. Konsep ini seyogyanya telah memenuhi standar sebagai agama yang sesuai dengan fitrah dan kebutuhan manusia. Standar dengan indikator ini merupakan satu keniscayaan untuk mewujudkan kehidupan bagi manusia yang menghargai fitrahnya, yaitu kodrat sebagai manusia dan optimalisasi akan potensinya.

Berdasarkan pemikiran di atas, terlihat bahwa dalam RUU KKG sebenarnya tidak ada masalah yang signifikan untuk dipersoalkan. Persoalan yang kerap bermunculan belakangan dengan statement negatif tentang RUU KKG ini justru dikarenakan kecurigaan yang tidak jelas. Mereka memandang RUU KKG ini sebagai wujud RUU liberasi dunia. Pandangan ini tentu tidak benar. Karena dalam Islam sendiri telah dijelaskan bahwa agama sebagai fitrah manusia mengajarkan tentang kesuaian manusia sebagai makhluk sosial.

Penulis beranggapan, secara yuridis teknik umum penyusunan RUU KKG telah mengacu pada Undang-Undang No.10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Misalnya, kerangka sudah sesuai dengan lampiran UU No.10/2004 yang terdiri dari (1) judul, (2) pembukaan yang memuat (a) Fase dengan rahmat tuhan yang maha esa, (b) jabatan, Pembentuk Peraturan Perundang-Undangan, (c) konsiderans, (d) dasar hukum, (e) diktum. Kemudian (3) Batang tubuh yang berisi (a) ketentuan umum, (b) materi pokok yang diatur, (c) ketentuan pidana (jika diperlukan), (d) ketentuan peralihan (jika diperlukan), (e) ketentuan penutup. (4). Penutup, (5) Penjelasan, (6) Lampiran.

Atas dasar itu, RUU KKG seharusnya bisa menyempurnakan dan mengisi kekurangan dari Undang-Undang Perkawinann, Kompilasi Hukum Islam (KHI), UU PKDRT 23/2004, khususnya dalam membela hak-hak perempuan. Hal itu dikarenakan dalam isi UU tersebut masih didapati kekurangan dalam beberapa pasal yang dianggap masih mengandung deskriminasi gender.

Berkaca pada sejumlah RUU yang pernah dicoba diusung, sebelum RUU KKG ini disosialisasikan ke tengah masyarakat, ada baiknya RUU KKG ini dibicarakan kembali dalam ruang yang lebih terbuka. Selain melibatkan pemerintah dan lembaga-lembaga terkait, sejumlah organisasi masyarakat dan masyarakat luaspun perlu diajak kompromi dan diikut sertakan. Selama ini masyarakat hanya dianggap obyek dari setiap permasalahan hukum. Maka tidak ada salahnya jika saat ini masyarakat turut dilibatkan dengan melakukan uji publik. Terutama bagi laki-laki (suami) yang mempunyai anggapan, bahwa dengan adanya RUU KKG ini akan menjadi masalah dalam kehidupan mereka kelak, terkait dengan persoalan previlledge sebagai laki-laki.

Fadhli Bull

Kaos Jamayyka

Share kaos Jamayyka

Pasan capek ka ipan/nora.
Caro mamasan:


Namo (spasi) ukuran (spasi) lengan 3/4 ataw panjang

Contoh:

Ipan M Lengan 3/4
Kirim ke:
081363737865

Baia buliah kudian se.
Kaos selesai tanggal 30 mei.
























Ini hasil jadinya. Telah diproduksi sejumlah 42 kaos.


 
















Kalo ini kaos sebelumnya. Di desain dengan format hijau lumut.
Di produksi dipenghujung tahun 2008.






















Masih ada lagi lho,. Ini kaos Jamayyka pertama.
Black tshirt, gambar sebelah kiri yang pegang gitar.
Kaos ini di produksi tahun 2006.




















Ini ada bonus kalender, beli baju dapet kalender.























Mau pesan,? monggo posting..

Selasa, 15 Mei 2012

Aku (Perempuan) Bukan Teroris

Malam lebaran, seorang istri dan lima anak menanti kedatangan sang suami. Sang istri tidak diberi tahu kemana ia pergi, hanya berjanji malam lebaran akan pulang. Pagi sudah menjelang, lebaran tiba, tetapi suaminya  tak  tampak  juga.  Satu,  dua,  tiga  sampai  seminggu  setelah lebaran, baru ada kabar, sang suami terlibat sebuah aksi teror atas nama jihad. Perempuan itu adalah Paridah, istri Mukhlas, pelaku bom Bali, yang kini telah dieksekusi mati. Setelah itu, Paridah menulis, Akulah ibu dan akulah ayah. Dua ‘kepala’ masuk dalam kepalaku. Akulah yang mengurus anak-anak dan rumah-tangga dan aku jugalah yang memikirkan urusan nafkah.

Menjelang abad duapuluh satu, dunia mengalami sebuah era pos- otoritarianisme. Sebuah era keruntuhan penguasa otoriter dunia, sekaligus lahirnya model-model otoritarianisme baru. Di Indonesia sendiri, pada satu  sisi,  tumbangnya  Soeharto  justru  memunculkan  kekuatan  radikal Islam  yang  menampakkan  diri  dengan  wajah  kekerasan.  Ada  yang bertopeng  lokal,  seperti  Front  Pembela  Islam;  ada  yang  bermasker transnasional, seperti jaringan al Qaeda di Indonesia.

Jaringan al Qaeda di Indonesia ini telah melakukan serangkaian aksi pemboman, baik bom Bali I, bom Bali II, bom Kuningan, bom J.W. Marriot II, dan bom-bom lain. Sebagian besar pelaku telah ditangkap. Ada yang sedang disidang, divonis penjara, atau dieksekusi mati. Beberapa pelaku  bahkan  ditembak  di  tempat,  karena  melakukan  perlawanan saat  terjadi  penangkapan.  Yang  menarik,  mereka  yang  ditangkap,  dan dinyatakan   pelaku   maupun   pembantu   pemboman,   semua   berjenis kelamin laki-laki.

Penangkapan  Noordin  M.  Top  adalah  sesuatu  yang  unik.  Ada dugaan  bahwa,  ketika  pergi  ke  luar  rumah,  Noordin  selalu  memakai pakaian  berjubah,  bercadar,  seperti  halnya  perempuan.  Saat  pergi  di sekitar  Gading,  Solo,  polisi  telah  mencurigai  gerak-gerik  Noordin,  dan dibuntuti  dari  kejauhan,  sampai  berada  di  rumah.  Setelah  dipastikan bahwa dia benar-benar Noordin, barulah terjadi aksi penangkapan, yang menewaskan Noordin M. Top di daerah Mojosongo, Solo, tersebut.

Apakah berpakaian laiknya perempuan memungkinkan Noordin M. Top bergerak lebih leluasa? Pertanyaan ini memunculkan spekulasi lain,  apabila  gerak  dan  pola  terorisme  di  Indonesia  telah  terbaca  oleh aparat  keamanan,  apakah  jaringan  teroris  di  Indonesia  akan  merekrut perempuan untuk melaksanakan bom bunuh diri? Tulisan ini bermaksud menjawab pertanyaan tersebut. Bagian pertama tulisan ini berisi uraian tentang posisi perempuan dalam ranah radikal Islam. Bagian pertama ini lebih banyak mengandalkan catatan harian Paridah (2005), istri Mukhlas, pelaku bom Bali. Bagian kedua menganalisis justi"kasi jihad perempuan di masa sekarang dan zaman Nabi Muhammad. Terakhir, memberikan analisis kemungkinan kemunculan terorisme di Indonesia.


Rahim Para Syuhada’
Paridah   sebelumny hany gadis   biasa.   Ia   tamatan   sekolah setingkat  menengah  atas.  Suka  berdiskusi,  terutama  masalah  agama. Gemar   membaca,   dan   telah   menamatkan   novel   Gadis   Pantai   karya Pramoedya Ananta Toer. Ke’biasaan Paridah pudar setelah d!odohkan oleh sang ayah. Paridah sebenarnya tak mau. Karena kalah debat dengan ayahnya, Paridah takluk. Ayahnya hanya menyodorkan dalil agama, dan Paridah tak bisa membantah ketika ayahnya memilih Ali Ghufron, yang dikenal dengan Mukhlas, sebagai pendamping Paridah (Paridah, 2005).

Mukhlas adalah mantan pejuang Afghanistan. Tak hanya senjata, ilmu  agama  ia  kuasai.  Setelah  menikah,  Mukhlas  meng-upgrade  sang istri. Hampir sebulan Mukhlas mendoktrin sang istri. Proses indoktrinasi begitu  ketat.  Al  Qur an  dan  Hadits  berikut  pemahamannya  diajarkan. Begitu pula, hal-hal yang menyangkut teknis, seperti masalah suami yang bisa dan tidak boleh diketahui oleh sang istri (Paridah, 2005). Eksklusivitas ini  yang  membuat  Paridah  tak  selalu  mengetahui  semua  urusan  sang suami.

Paridah    kaget,    ketika    mengetahui    Mukhlas    terlibat    aksi pengeboman   di   Indonesia.   Ia   pun   tergagap,   ketika   anak-anaknya bertanya, “Kapan Abi pulang?” Selama ini, yang Paridah tahu, Mukhlas adalah   bapak   tauladan.  Anak-anakny pun   menganggap   demikian. Asmaa, anak sulung mereka, berpuisi, Ayah/ kini kau tiada di sisiku/ Tetapi tetap ada di hatiku/ Namamu akan kukenang/ Senyummu selalu terbayang  di  mataku/  Wajahmu  selalu  terbayang  di  ingatanku//  Ayah/ Aku bangga menjadi anakmu/ ANAK SEORANG TERORIS// (Paridah,2005: 36).

Ketika     Mukhlas     menjalani     persidangan,     Paridah     yang berkewarganegaraan   Malaysia   harus   ke   Indonesia.   Banyak   masalah kemudian   muncul.   Dari   masalah   kepengurusan   imigrasi,   rumah kontrakan,  makan  sehari-hari  dan  kelahiran  anak  yang  baru.  Paridah yang  sedang  hamil  setelah  menemui  suaminya  harus  bolak-balik  ke persidangan menjadi saksi. Belum lagi kesedihan Paridah saat mendengar keputusan hukuman mati bagi Mukhlas (Paridah, 2005).

Paridah  adalah  satu  dari  banyak  penganut  radikal  Islam.  Pada umumnya,  ibu  dalam  rumah  tangga  radikal  Islam  berperan  sebagai produsen  sekaligus  pendidik  anak-anak  agar  kelak  menjadi  pejuang
(syuhada).  Seperti  halnya  Paridah,  pola  pengasuhan  dan  pemeliharaan disesuaikan dengan apa yang telah diajarkan oleh sang suami. Anak-anak didik sedemikian rupa sehingga mereka siap berjuang di medan perang. Di  sini,  peranan  ibu  begitu  penting  dalam  pembentukan  kepribadian sang anak. Harapan sang ibu biasanya dilekatkan pada nama sang anak. Si bungsu Paridah, misalnya, dinamai dengan Osama. Kelak ketika tumbuh dewasa, sang anak bisa seperti Osama bin Laden. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh ibu-ibu radikal Islam lain, seperti Rehima, istri seorang petinggi Jamaat-i-Islami Pakistan (terjemahan bebas penulis).

Kunamai putraku Osama agar kelak ia menjadi mujahid. Meskipun saat ini perang telah berkecamuk, namun ia masih kecil. Ku akan persiapkan ia untuk perang berikutnya. Atas nama Allah, ku akan korbankan dia, tak peduli ia anak kesayanganku. Kuingin keenam anak  lelakiku  menjadi  mujahid.  Kalaulah  mereka  terbunuh,  itu tak apa. Hidup di dunia ini sangat singkat. Kusendiri ingin pula menjadi mujahid. Jihad adalah saat kau diserang, kau menyerang balik.   Ini   kehendak  Allah.   Kami   tak   gentar Kutelah   mohon kepada suamiku agar di!inkan pergi ke Kashmir dan mengikuti latihan  perang.  Ku  akan  lemparkan  bom  bersama  tubuhku. (Cunningham 2005: 94).



Pernyataan  Rehima  di  atas  penting.  Kelihatannya,  Osama  telah menjadi  idola  bagi  para  perempuan  radikal  Islam,  paling  tidak  bagi Rehima dan Paridah. Politik idol sangat berbahaya dalam hal pembentukan karakter anak, karena sang anak tidak memiliki kebebasan dan cita-cita akibat harapan mereka dikonstruk agar menjadi seperti Osama. Bahaya lain adalah klaim kebenaran; fatwa Osama pasti akan dituruti, meskipun hal  tersebut  mengandung  sebuah  kejahatan.  Konstruksi  ini  akan  lebih berbahaya  lagi  karena  proyeksi  dalil  langsung  kepada  Tuhan  yang membuat argumen seakan-akan tidak terbantah dan harus dilaksanakan dengan sepenuh hati.

Para  ibu,  dan  perempuan  radikal  Islam  pada  umumnya,  juga memiliki tugas menghasung para kerabat lelaki dan suami-suami mereka untuk  ikut  berperang.  Lebih  dari  sekadar  hasungan,  para  perempuan wajib pula menyiapkan persedian logistik peperangan mereka. Persediaan ini bukan hanya berupa materiil, tetapi juga mental agar mereka memiliki keberanian untuk berperang. Para perempuan akan mengingatkan mereka atas pahala yang akan diperoleh orang yang mati di medan perang, yaitu 72 bidadari, yang salah satunya adalah sang istri mereka sendiri. Karakter  lain  Islam  radikal  adalah  eksklusif.  Karena  memiliki tugas  sebagai  pendidik  dan  pembentuk  karakter  anak,  ibu-ibu  dan perempuan Islam radikal lebih berperan di dalam sektor domestik, atau lebih tepatnya di rumah. Oleh karena inilah mereka jarang sekali bergaul dengan  para  tetangga.  Kalau  pun  ingin  ke  luar  rumah,  mereka  wajib mengenakan jubah dan cadar berwarna gelap, sebagai pemati hasrat laki- laki yang meliriknya (Shidqi, 2008: 17).


Martir Perempuan
Di  Indonesia,  agaknya  pola  gerakan  para  teroris  telah  terbaca. Gembong-gembong terorisme telah tertangkap. Beberapa di antaranya ada yang dieksekusi mati. Meskipun muncul jaringan baru di beberapa daerah, seperti akhir-akhir ini di Aceh atau Klaten, pihak aparat tetap saja mampu mengenali modus operasional terorisme tersebut. Hal ini tentu mempersempit gerak para teroris di Indonesia. Jika para teroris, yang notabene laki-laki, tidak  bisa  bergerak  lagi,  apakah  mungkin  muncul  pola  operasional  baru yang melibatkan perempuan sebagai pelaku bom bunuh diri?

Dari analisis peran perempuan radikal Islam di atas, agaknya tidak mungkin perempuan dilibatkan dalam tindak bom bunuh diri. Namun, mempertimbangkan  konstelasi  pola  radikal  Islam,  hal  itu  mungkin. Jaringan   radikal   Islam   di   Indonesia,   khususny jaringan   terorisme, memiliki  keterkaitan  kuat  dengan  jaringan  al  Qaeda  di  Afghanistan. Keterkaitan ini bisa dilihat dari kesamaan ajaran. Dari sisi ajaran, sebut saja  Imam  Samudra  (2004:  64),  sering  mengutip  pendapat  Abdullah Azam, gembong al Qaeda di Afghanistan, sebagai penguat dalil jihadnya. Imam Samudra sendiri adalah pelaku bom Bali I, teman Mukhlas, yang juga dieksekusi mati.

Pada   konstelasi   global,   jaringan   al   Qaeda   telah   merekrut perempuan  sebagai  pelaku  bom  bunuh  diri.  Ashraq  al  Awsat,  sebuah koran  Arab  Saudi,  pada  Maret  2003,  melakukan  sebuah  wawancara dengan Umm Osama, seorang tokoh al Qaeda perempuan. Umm Osama menyatakan (Nes, 2008: 20-21):
Kami  telah  mempersiapkan  pola  baru  atas  instruksi  pemimpin kami.  Dengan  pola  baru  ini,  kami  yakin  Amerika  akan  lebih mengingatnya   daripada   penyerangan   11   September.   Ide   ini muncul  dari  operasi  sukses  martir  perempuan  muda  Palestina di sebuah daerah sulit-jangkau musuh. Organisasi kami terbuka bagi seluruh perempuan muslim yang ingin mengukuhkan negara Islam, khususnya dalam fase paling kritis ini.

Umm  Osama  menambahkan  bahwa  jaringan  ini  telah  merekrut para  perempuan  pemberani  dari  seluruh  dunia  untuk  diterjunkan  ke Afghanistan, Arab atau Chechnya. Mereka dimobilisasi melalui internet. Para pejuang perempuan yang dilatih ini diharapkan mampu berjuang seperti  halnya  para  perempuan  pelaku  bom  bunuh  diri  di  Chechnya maupun Palestina (Von Knop, 2007: 404).

Khava Barayeva dan Luisa Magomodova merupakan dua pelaku perempuan perdana bom bunuh diri di Chechnya. Tindakan ini dilakukan pada tanggal 7 Juni 2000. Luisa Magomodova menabrakkan sebuah truk bermuatan penuh peledak ke pasukan elit Rusia di desa Alkhan Yurt. Tidak seperti daerah kon#ik lain, perempuan lebih mendominasi tindakan teror di Chechnya. Untuk tindak bom bunuh diri dari tahun 2000 sampai Maret 2007, 46 dari 110 pelaku adalah perempuan (Speckhard dan Akhmedova, 2005: 100).

Ada  beberapa  pola  penyerangan  bom  bunuh  diri  di  Chechnya. Melilitkan bom di tubuh dan detonator di tangan merupakan pola yang sering  digunakan.  Pola  ini  menggunakan  lebih  dari  satu  pelaku.  Pola lain  meliputi  peledakan  diri  di  sebuah  tempat  selain  kawasan  ramai, peledakan dengan mengendarai truk atau mobil, peledakan diri di pusat keramaian, peledakan  diri  di  kereta  dan  kapal  terbang, dan  peledakan melalui tas berisi bom yang seringkali gagal karena terdeksi lebih awal. Separuh  dari  pelaku  adalah  perempuan  berstatus  lajang,  kemudian janda, dan yang terendah adalah masih memiliki suami. Dari 64 orang yang  berhasil  diwawancari, 48  orang  memiliki  !azah  setingkat  sekolah menengah atas (Speckhard dan Akhmedova, 2005: 104—108).

Sampai  Maret  2010,  tindak  bom  bunuh  diri  masih  terjadi  di Moskow,  sebagai  daerah  sasaran  militan  Chechnya.  Pada  akhir  Maret tahun  yang  sama,  dua  perempuan  berhasil  meledakkan  diri  di  dua stasiun kereta di Moskow. Yang pertama meledakkan diri di Lubyanka stasiun, menewaskan 24 orang. Yang kedua, meledakkan diri di stasiun Park Kultury yang menewaskan 13 orang. Keduanya terjadi pada waktu pagi hari yang padat  (Roggio, 2010).

BombunuhdiridiChechnyalebihbermotiftindakmempertahankan tanah  air.  Keterlibatan  al  Qaeda  dalam  tindakan  ini  telah  terjadi  sejak tahun 1990-an. Namun, sekitar tahun 2000-an, tindak mempertahankan ini  beralihrupa  menjadi  upaya  menegakkan  negara  Islam.  Hasilnya, November  2007,  Doku  Umarov,  tokoh  Chechnya  yang  juga  aktif  di  al Qaeda,  mendeklarasikan  Emirate  Islam  sekaligus  menobatkan  dirinya sebagai  penanggungjawab  (amir)  di  Semenanjung  Eks  Soviet  (Roggio, 2010).  Alihrupa  ini  merupakan  upaya  untuk  mencari  dukungan  umat Islam dunia agar membantu perjuangan rakyat Chechnya.

Seperti   halny Chechnya,   rakyat   Palestina   berperang   demi mempertahankan tanah airnya. Ada dua fase perang di Palestina. Fase pertama adalah intifada I (1987—1993), dan fase kedua intifada II (2000— sekarang). Sesuai dengan struktur sosial di Palestina, orang-orang yang berperang umumnya laki-laki. Meskipun begitu, para perempuan tidak tinggal  diam.  Mereka  telah  melakukan  demonstrasi-demonstrasi  pada intifada I, dan mulai melakukan tindak bom bunuh diri pada intifada II (Berko dan Erez, 2005: 146).

Secara umum, intifada I telah meninggalkan trauma yang kemudian dibalas  menjadi  peperangan  pada  intifada  II.  Para  pejuang  intifada  II adalah  anak-anak  yang  memiliki  trauma  pada  masa  intifada  I.  Akibat trauma intifada I, hampir semua rakyat Palestina bercita-cita syahid dan sebagiannya dengan melakukan bom bunuh diri. Tindakan ini merupakan strategi jitu akibat ketidakberdayaan rakyat Palestina melawan tank-tank Israel.  Melalui  tindak  bom  bunuh  diri,  seorang  pejuang  akan  mampu menjangkau daerah-daerah yang sulit d!angkau oleh peralatan perang. Jika Israel punya pesawat, Palestina punya semangat syahid  (El Sarraj dan Butler, 2002).

Meskipun  memiliki  semangat  syahid  yang  serupa,  namun  para perempuan  pelaku  bom  bunuh  diri  mempunyai  alasan-alasan  yang beragam.  Sebagian  mereka  memiliki  tujuan  agar  cepat  masuk  surga, karena  seorang  perempuan  syahid  termasuk  di  antara  72  gadis  surga dan dapat membersihkan dosa-dosa 70 kerabatnya. Sebagian lain karena alasan keluarga dan kerabat yang dibunuh oleh tentara Israel, sehingga jalan untuk bertemu mereka kembali di surga adalah dengan tindakan bom bunuh diri (Berko dan Erez, 2005: 153-155).

Bukankah Islam melarang tindakan bunuh diri? Eyad El Sarraj, direktur   Program   Kesehatan   Mental   Komunitas   Gaza,   menjelaskan, syahid di Palestina berbeda dengan bunuh diri untuk kepentingan sendiri, meskipun keduanya memiliki kesamaan cara. Bagi El Sarraj, bom bunuh diri adalah fenomena baru yang terjadi pada zaman sekarang dan tidak ada presendennya pada masa Nabi Muhammad. Meskipun mu$i Mesir dan Saudi melarang perbuatan ini, namun bagi El Sarraj, hal ini masih dalam perdebatan. Pertimbangan utama tindakan bom bunuh diri adalah ketidakberdayaan masyarakat Palestina menghadapi persenjataan Israel. Mengungkapkan kembali pengakuan beberapa pejuang Palestina, El Sarraj berujar,if you want to a&ack an Israeli soldier-who is absolutely invulnerable in his bunker or tank-how else can you do it? Selain itu, masyarakat Palestina percaya bom bunuh diri adalah bentuk pengorbanan diri untuk Allah (El Sarraj dan Butler 2002: 73—74).

Jihad dalam batas mempertahankan tanah air adalah sesuatu yang wajar dan dapat dimaklumi, namun menjadi berbahaya apabila terjadi distorsi  konteks  untuk  kepentingan  ideologis.  Chechnya  dan  Palestina merupakan  dua  daerah  kon#ik.  Apakah  bantuan  al  Qaeda  ke  dua negara  tersebut  bisa  menyelesaikan  masalah  atau  justru  memperkeruh masalah?  Seruan  Umm  Osama  kepada  umat  Islam  untuk  membantu kedua negara tersebut memang perlu, tetapi apakah harus seruan untuk perang?  Bukankah  bantuan  pakaian  dan  makanan  lebih  diperlukan untuk  mereka?  Jihad,  yang  semula  bermakna  defensif,  tidak  mustahil akibat seruan Umm Osama, akan menjadi ofensif di negara-negara lain, termasuk  Indonesia.  Artinya,  musuh-musuh  Chechnya  dan  Palestina tidak  menutup  kemungkinan  akan  d!adikan  musuh  bersama  Islam radikal yang mengikuti Umm Osama di negara mereka masing-masing. Pada   akhir   tahun   2009,   seruan   jihad   al   Qaeda   kepada   para perempuan berlanjut. Umaymah Hasan Ahmed Muhammed Hasan, istri Ayman al Zawahiri, seorang gembong al Qaedah Afghanistan, membuat sebuah seruan jihad kepada perempuan Islam radikal di seluruh dunia. Seruan ini berupa ajakan untuk bersabar dalam mengikuti peperangan di  daerah  kon#ik  seperti  Chechnya  dan  Palestina;  ajakan  untuk  tetap mengenakan  jubah  dan  cadar  dan  ajakan  untuk  mempersiapkan  anak- anak dan mengajak suami berjihad. Umaymah juga menegaskan bahwa jihad  adalah  kewajiban  yang  wajib  dilaksanakan  baik  oleh  laki-laki maupun perempuan Islam radikal (Dickey, 2010).

Seruan ini disambut oleh perempuan Islam radikal di beberapa negara, termasuk Saudi Arabia. Awal Juni 2010, Hayla al Qassir, tokoh perempuan al Qaeda melakukan penyerangan kepada bangsawan Saudi. Hayla  gagal,  dan  ditangkap  oleh  aparat  Saudi  (al  Shorfa.com,  2010). Secara  internal,  al  Qaeda,  khususnya  Osama  bin  Laden  memang  tidak menyukai  keb!akan  yang  diambil  oleh  bangsawan  Saudi.  Kekecewaan ini  bermula  dari  penolakan  bangsawan  Saudi  atas  permintaan  Osama membantu Saudi menghalau Irak dalam kasus krisis Kuwait. Saudi justru mengundang Amerika untuk menyelesaikan masalah tersebut (Delong- Bas, 2004: 269—270).

Seruan  Umaymah  juga  tersebar  di  internet.  La  Rose,  seorang warga  negara  Amerika,  menyambut  seruan  jihad  al  Qaeda  di  internet. La  Rose  berniat  ingin  membantu  umat  Islam  yang  menjadi  korban  di daerah-daerah  kon#ik.  Al  Qaeda  memberi  komando  kepada  La  Rose untuk  membunuh  seseorang  di  Swedia.  La  Rose  berangkat  ke  Swedia. Namun, usaha perempuan Amerika ini gagal. Dia ditangkap oleh pihak aparat. Peristiwa ini dikenal dengan Jihad Jane (csmonitor.com, 2010).

Jihad  Jane  adalah  contoh  bagaimana  internet  bisa  digunakan sebagai  pendukung  seruan  jihad  yang  dapat  direspons  oleh  seluruh penduduk radikal Islam dunia. Eksklusivitas perempuan Islam radikal tidak menghalangi mereka memperoleh informasi, karena kini internet mampu  diakses  di  dalam  rumah  dengan  harga  yang  relatif  murah. Mobilisasi di internet juga cukup efektif, karena sulit diendus oleh pihak aparat.
Jihad  Jane  juga  memberikan  hikmah  kepada  kita,  al  Qaeda  tak jarang mendistorsi konteks. Niat awal La Rose ditujukan untuk membantu muslim yang menderita di medan kon#ik, tetapi justru ditugaskan untuk membunuh salah satu warga Swedia yang belum tentu bersalah. Seperti halnya  La  Rose,  motif  jihad  di  Indonesia  agaknya  mirip:  menjadikan Amerika sebagai korban pemboman tak peduli dia bersalah atau tidak. Di  sini,  selain  mendistorsi  konteks,  al  Qaeda  telah  melakukan  politik prasangka.

Di  samping  distorsi  konteks  pada  masalah  kekinian,  gerakan Islam   radikal   kemungkinan   akan   menjadikan   preseden   masa   lalu sebagai  justi"kasi  jihad  pada  masa  sekarang.  Sebagai  contoh  seruan Umaymah, ketika mengajak perempuan Islam radikal untuk berjihad, ia mencontohkan  beberapa  sahabiyah  Nabi  Muhammad  berjihad  dengan gagah melebihi keberanian laki-laki pada masanya (Dickey 2010).
Sayyidah   Sa"yyah   adalah   tauladan   pemberani   terbaik   bagi perempuan. Ketika dia berpatroli di sebuah kawasan, dan melihat seorang Yahudi bersiap menyerang muslim, dia langsung menebas Yahudi tersebut dengan sebilah papan. Dia tak gentar sedikit pun. Sayyidah Sa"yyah saat itu lebih berani daripada para pria zaman sekarang.

Kutipan  di  atas  tentu  akan  menjadi  pembakar  semangat  para perempuan  Islam  radikal  untuk  berjihad.  Namun,  apakah  tidak  ada contoh lain selain perang sebagai jalan jihad?
Sebenarnya, banyak literatur klasik lain yang menceritakan jihad perempuan pada masa Nabi Muhammad, dan kemungkinan d!adikan justi"kasi   perekrutan   perempuan   radikal   Islam.   Abdul   Ghani   bin Abdul al Maqdisi (w. 1203), dalam Manaqib al Shahabiyyat, menceritakan seseorang   sahabiyah   bernama   Nusayb (Umm   ‘Umara)   yang   pergi ke  peperangan  Uhud  untuk  menolong  para  korban  perang,  dan  justru mendapat  duabelas  luka  di  tubuhnya.  Bersama  Nusayba  ada  empat perempuan lain yang justru mengikuti peperangan tersebut. Salah satu dari empat perempuan tersebut sedang hamil. Menurut Aliyya Mustafa Mubarak, dalam Sahabiyat Mujahidat, paling tidak ada 67 sahabiyah yang ikut berperang pada masa Nabi Muhammad (Cook, 2005: 38).

Melalui pengisahan kembali preseden tersebut, Yusuf al Ayyiri, seorang  al  Qaeda  jaringan  Saudi,  dalam  Dawr  al  Nisa’  "  Jihad  al  Ada, memfatwakan  bahwa  jihad  adalah  kewajiban  yang  wajib  bagi  laki-laki maupun  perempuan.  Kewajiban  ini  disebabkan  lemahnya  kekuatan negara-negara berpenduduk muslim di dunia (Cook, 2005: 45-46). Sekali lagi,  di  sini  terlihat  jelas  bagaimana  sebuah  masalah  internal  negara dibawa ke konteks global. Yang paling mengkhawatirkan, apabila hal ini dipahami oleh semua umat muslim di dunia sebagai sebuah doktrin yang harus dilakukan, bukan sebagai mis-interpretasi preseden Islam.
Agakny preseden   perempuan   berperang   pada   masa   Nabi Muhammad perlu direinterpretasikan. Preseden tersebut memang cocok sebagai  pembakar  semangat  para  perempuan  berperang  di  daerah- daerah  kon#ik  seperti  Chechnya  dan  Palestina.  Tetapi,  selagi  ada  jalan damai yang bisa ditempuh, sebaiknya hal itu d!alankan terlebih dahulu. Penelisikkan  konteks  ketika  para  perempuan  berjihad  di  zaman  Nabi Muhammad  perlu  digali  lebih  dalam,  dengan  cara  memahami  secara holistik situasi pada masa itu.


Mujahidah Indonesia
Apakah  mungkin  membuat  sebuah  gambaran  tentang  peran perempuan radikal Islam berdasarkan kisah Paridah dan eskalasi global martir perempuan di atas? Kisah Paridah memberikan penjelasan bahwa peran perempuan radikal Islam dalam keluarga adalah menjadi istri yang baik dan pengasuh anak yang b!ak. Ruang lingkup istri hanya terbatas pada sektor domestik. Namun, melihat kembali gambaran global martir perempuan,  peran  istri  juga  membantu  suami  dalam  melaksanakan misi   jihad dalam   makna   melakukan   aksi   yang   dianggapny benar dengan  kekerasan.  Transformasi  ini  bisa  digunakan  sebagai  titik  p!ak untuk menganalisis diskursus terorisme yang melibatkan perempuan di Indonesia.

Perempuan   dalam   diskursus   radikal   Islam   merupakan   agen penting     dalam     menciptakan     genealogi     kekerabatan.     Dikatakan genealogi, karena tak jarang penciptaan proses kekerabatan ini, misalnya perkawinan,   dilaksanakan   dengan   sistem   perjodohan,   untuk   tidak mengatakan pemaksaan jodoh. Kemauan utama perempuan-perempuan ini d!odohkan karena proses ini menurut anggapan mereka merupakan bagian dari proses jihad.

Singh   (2007:   80)   telah   melakukan   penelusuran   kekerabatan tersebut secara detail. Noordin Top menikah dengan Rais Rusdi, tokoh penting dalam jaringan Jamaah Islamiyah. Fathur Rahman al Gazi kawin dengan  kemenakan Amrozi,  tokoh  penting  dalam  bom  Bali  I.  Saudara perempuan Nasir Abbas (teroris yang telah taubat) dinikahkan dengan Muklas (Paridah). Muklis, menikah dengan anak perempuan Abdullah Sungkar, pendiri pesantren Ngruki. Ipar Hambali, tokoh penting Jamaah Islamiyah,  menikah  dengan  Dadang  Suratman,  tokoh  kunci  Jamaah Islamiyah Asia Tenggara. Ipar Dulmatin menikah dengan Hari Kuncoro, pembantu   utama   Noordin   M.   Top.   Kekerabatan   ini   akan   semakin kompleks apabila ditelusuri lebih dalam lagi.

Paling tidak, sebagaimana analisis Jones (Tempo 2011), kekerabatan ini   akan   memudahkan   komunikasi.   Hari   Kuncoro,   misalnya,   dekat dengan  Umar  Patek,  karena  dikenalkan  oleh  Dulmatin,  sebagai  kakak iparnya.  Selain  itu,  masih  menurut  Jones,  pola  kekerabatan  ini  dapat pula digunakan untuk mengidenti"kasi kaitan antara suatu group teroris tertentu  dengan  group  lain.  Sebagai  contoh,  kaitan  antara  kelompok Pamulang dengan kelompok Medan. Ipar lain Dulmatin, Istiada menikah dengan Ali Mi$ah alias Hamzah yang memegang peran penting dalam perampokan bersenjata di CIMB Niaga Medan pada 2010 lalu. Pendeknya, mengutip Inspektur Jenderal Ansyaad Mbai, Head of the National Counter- Terrorism Agency, “Kinship through marriages is the primary bond in terrorist networks” (Tempo, 2011: 16).
Penjaga  jaringan  tentu  harus  dimaknai  sebagai  proses-proses reproduksi “dinasti terorisme”, dalam arti semua komponen berpotensi turut aktif terlibat dalam tindak pengeboman. Selama ini, di Indonesia, sepanjang penelisikan penulis, masih banyak terjadi pada ranah domestik, misalnya  yang  banyak  terjadi  adalah  keikutsertaan  perempuan  dalam menyembunyikan  para  teroris.  Mun"atun,  istri  Noordin  M.  Top,  pada Juni 2005, divonis tiga tahun penjara karena dituduh menyembunyikan informasi  tentang  pengeboman  Kedubes  Australia  (Singh  2007).  Putri Munawaroh, istri teman Noordin M. Top, divonis delapan tahun penjara pada  29  Juli  2010  lalu,  karena  dianggap  menyembunyikan  gembong teroris  (Laporan  Tahunan  CRCS  2010).  Pada  level  ini,  perempuan  masih menjadi suporter dalam kasus terorisme di Indonesia.

Kapan   para   perempuan   ini   menjadi   kombatan?   Sebenarnya, apabila    mau    berspekulasi,    kombatan    perempuan    di    Indonesia dimungkinkan   terjadi   dalam   waktu   dekat,   mengingat   ruang   gerak terorisme   yang   dilakukan   oleh   laki-laki,   sudah   diketahui   modus operandinya oleh Densus 88 bahkan sejak proses inisiasinya. Namun, hal ini  tetap  memerlukan  analisis  mendalam,  mengingat  psikologi  budaya perempuan di Indonesia berbeda dengan mereka yang tinggal di Timur Tengah.  Analisis  yang  paling  memungkinan  adalah  melihat  potensi kemungkinan  perempuan  Indonesia  menjadi  kombatan  dari  proses- proses konstruksi pengetahuan.

Sebagaimana kisah Paridah, suami memegang peran sentral dalam keluarga.  Peran  ini  tak  sebatas  kepala  keluarga,  tetapi  juga  mencakup “komandan perjuangan”. Selama ini, karena kuantitas anak-anak dalam keluarga radikal Islam, tugas istri masih sebatas penjagaan dan pengajaran terhadap  anak-anak  mereka.  Tugas  ini  akan  berubah  ketika  anak-anak mereka telah tumbuh menjadi dewasa. Pada tataran ini, tugas istri bisa saja berubah menjadi “komandan kedua” setelah suami.

Sebagai  “komandan  kedua”  berarti  sang  istri  sewaktu-waktu dimungkinkan  untuk  terjun  bersama  sang  suami  untuk  melakukan aksi-aksi  pengeboman.  Hal  ini  dapat  terjadi  apabila  sang  suami  telah memberikan mandat kepada sang istri. Sebagai contoh, empat tahun lalu, katedral di San Pedro, Davao, Filipina telah menjadi target pengeboman teroris meskipun gagal karena telah terendus sebelumnya oleh Densus Filipina.  Yang  menarik,  pelaku  pengeboman  ini  adalah  Rumaisah,  atas perintah Umar Patek. Rumaisah tak pelak adalah istri Umar Patek sendiri yang  pernah  dipenjara  di  kamp  Pakistan  (Tempo,  2011).  Dari  kasus  ini, jelas istri berpotensi menjadi martir, dengan syarat apabila suami telah memerintahkan.

Selain suami, potensi perintah lain adalah dari sang ustadz. Perlu diperhatikan, penggunaan jamaah, dalam kelompok Jamaah Islamiyah, bukannya  tanpa  maksud.  Jamaah  di  sini  kurang  tepat  apabila  sebatas dipahami sebagai kelompok, grup atau organisasi. Konsep jamaah lebih tepat  apabila  dimaknai  sebagaimana  konsep  jamaah  dalam  salat,  yang terdiri  dari  imam,  makmum  dan  rukun-rukun  ketertiban  yang  harus dipenuhi.  Dalam  salat,  makmum  harus  tunduk  pada  imam.  Makmum terdiri dari dua kelompok, yaitu laki-laki dan perempuan. Apabila imam batal salat, makmum di belakangnya bisa menggantikannya.

Konsep  jamaah  ini  juga  berlaku  pada  proses-proses  institusi- onalisasi  doktrin,  yaitu  pengajian.  Pengajian  dalam  tulisan  ini  tidak bermakna  general,  artinya  semua  pengajian  mengajarkan  terorisme. Namun,  pengajian  radikal  Islam  mengajarkan  sejarah  kekerasan  Islam tanpa  ada  kontekstualisasi.  Melalui  proses  pengajian  ini,  para  anggota jamaah  mengalami  proses  embodiement,  manunggal  antara  ajaran  dan praktik.  Dalam  bahasa  Ward  (2008),  pengajian  lebih  tepat  dikatakan sebagai proses “pengeraman”. Pengeraman ini akan “pecah” ketika ada perintah komando dari sang ustadz.

Dua  komando  di  atas  menunjukkan  pola  patriarkat  komunitas radikal Islam. Kuasa berada di tangan pihak laki-laki. Perlu ditegaskan, kuasa tertinggi berada di tangan sang ustadz. Dengan demikian, apabila sang suami meninggal, sang ustadz berkewajiban mencarikan pasangan perjuangan   kembali.   Melalui   pola   analisis   ini,   kemungkinan   aksi pemboman bermotif dendam sangat kecil.


Kesimpulan
Apakah terorisme perempuan di Indonesia mungkin? Berdasarkan uraian  di  atas,  ada  beberapa  kondisi  yang  menyebabkan  terorisme  di Indonesia mungkin terjadi. Pertama, apabila tindak penangkapan teroris dilakukan melibatkan, atau lebih tepatnya, mengambil korban kerabat, terutama   anak-anak   teroris.   Hal   ini   bisa   dilakukan   secara   sengaja atau  tanpa  sengaja  saat  penangkapan  teroris  terjadi.  Trauma  ini  akan melahirkan  sebuah  dendam,  dan  dengan  justi"kasi  tindak  bom  bunuh diri di Palestina dan Chechnya, akan semakin menjadi kenyataan.

Kedua, bom bunuh diri akan mungkin dilakukan oleh istri pelaku bom di Indonesia apabila tidak ada lagi pihak yang peduli dengan masalah ekonomi  mereka.  Lapangan  yang  semakin  sempit  di  Indonesia  akan membuat istri-istri pelaku bom, yang dipenjara atau dieksekusi mati, akan lebih menyegerakan bertemu suami-suami mereka di surga. Keberhasilan hal  ini  tergantung  pada  bujuk  rayu  gembong-gembong  teroris  yang memanfaatkan  situasi  keterdesakan  ekonomi  tersebut.  Oleh  karena  itu, pemerintah  seharusnya  juga  memikirkan  nasib  istri-istri  dan  anak-anak pelaku terorisme, tidak hanya didukung dengan bantuan uang, tetapi juga program agar keluarga teroris tidak seperti pelaku teroris itu sendiri.

Ketiga,  sang  anak  akan  menjadikan  ayah,  pelaku  teror  bom, sebagai  idola.  Perempuan,  lebih  tepatnya,  sang  ibu,  berperan  penting dalam  proses  pendidikan  ini.  Untuk  itulah,  pihak  berwenang  perlu menjelaskan kepada masyarakat perbedaan penting antara terorisme dan mujahid,  minimal  agar  konteks  sosial  masyarakat  bisa  mencegah  para anak-anak teroris untuk mengikuti jejak sang ayah.
Tulisan   ini   tidak   berpretensi   untuk   memprediksi   arah   baru terorisme di Indonesia. Namun, uraian ini lebih ingin mencoba memberikan alternatif analisis baru terorisme di Indonesia, yaitu pada aras keluarga. Selama ini, fokus kajian terorisme terpusat pada dua aras utama: analisis jaringan dan analisis institusi. Analisis jaringan berupaya menampilkan sebuah  keterkaitan  dan  hubungan  antara  satu  aksi  pemboman  dengan aksi  lain  di  satu  atau  beberapa  negara  berbeda  (Jongman  2007,  Singh 2007, Vaughn 2008, Lutz dan Lutz 2008). 

Pada satu sisi, analisis ini sangat penting  sebagai  sarana  untuk  mengantisipasi  aksi  terorisme  dengan memutus  mata  rantai  terorisme  di  Indonesia.  Akan  tetapi,  pada  lain sisi, pola organisasi dalam analisis ini sering tidak bisa mendeteksi aksi- aksi  pemboman  yang  akan  terjadi,  karena  dalam  komunitas  terorisme, sebagaimana  yang  diuraikan  sebelumnya,  pola  yang  dipakai  adalah jamaah, bukan organisasi.

Analisis   institusi   menekankan   pada   proses-proses   produksi dan reproduksi terorisme, khususnya di pesantren (Abuza 2003, 2007). Kekhawatiran   utama   analisis   ini   adalah   keterjebakan   generalisasi, sangat  mungkin  muncul  klaim  bahwa  semua  pesantren  mengajarkan terorisme. Kekurangan lain analisis ini terletak pada kegagalan elaborasi institusionalisasi    pesantren    atas    ajaran    atau    tindakan    terorisme. Sebagaimana  analisis  pertama,  analisis  ini  masih  mengandalkan  pola- pola tinjauan organisasi.

Melengkapi dua analisis sebelumnya, tulisan ini ingin menegaskan bahwa analisis terorisme seharusnya juga melihat secara etnogra" pola- pola  embodiement  dalam  lingkup  keluarga.  Etnogra"  keluarga  teroris berupaya  melihat  bagaimana  proses  institusionalisasi  bekerja  di  dalam keluarga. Melalui analisis pembagian kerja dalam keluarga teroris, proses- proses instusionalisasi dapat diketahui dengan saksama.

Tiga  komponen  analisis  pembagian  kerja  adalah  ayah,  ibu  dan anak.  Bagaimana  posisi  sang  ayah,  bagaimana  peran  sang  ibu,  dan bagaimana proses instusionalisasi pengajaran mereka kepada anak-anak mereka. Di samping itu, pada tingkat institusionalisasi yang lebih tinggi, penting   juga   dianalisis   bagaimana   institusionalisasi   ajaran-ajaran   di pengajian bekerja pada tubuh-tubuh keluarga radikal Islam ini. Apabila analisis  ini  dapat  ditasyrihkan  secara  detail,  deradikalisasi  keluarga teroris merupakan sebuah keniscayaan.

Artikel M. Endy Saputro