WISUDA ANGGOTA JAMAYYKA

Selamat kepada uni Nora Hilmasari, S.H.

WISUDA ANGGOTA JAMAYYKA

Selamat kepada uni Nora Hilmasari, S.H.

NONTON BARENG JAMAYYKA

Sepatu Dahlan at Sinema 21 Amplaz

JALAN-JALAN JAMAYYKA

Gunung Api Purba Nglanggeran.

Senin, 22 Oktober 2012

Re-post Mapokus News

Rapat panitia pelaksanaan peringatan 1/4 abad MAPK yang di jadwalkan kemaren (16/10) berjalan lancar. Dimulai pukul 16.10 WIP dengan dihadiri ketua panitia, H. Irwandi FaRas, S.HI, M.M rapat dibuka oleh H. Karni Ushalli, Lc. Kafe Syariah IAIN Imam Bonjol menjadi saksi bisu pelaksanaan rapat yang di dominasi oleh wajah-wajah baru generasi 23 dan 13 putra/ putri. 

Dalam pertemuan singkat tersebut, akhirnya disepakati beberapa hal yang akanmenjadi acuan panitia dalam kerja selanjutnya, point tersebut adalah:
1- Memberikan kesempatan kepada seluruh angkatan agar mempersiapakan slide show berdurasi maximal 15 menit yang akan ditampilkan dalam acara reuni. (Berupa foto kegiatan dan kalau ada video, lebih baik lagi. mudalai dari masuk MAPK sampai sekarang ini. Penanggung jawabnya adalah koordinator masing-masing angkatan).
2- Pengumpulan dana dimulai dari bulan November, dengan ketentuan: Mahasiswa: Rp. 25.000,- / bulan, non mahasiswa minim
al Rp. 50.000,-/bulan ( terhitung november-desember 2012, Penanggung jawab: Koordinator masing-mansing angkatan). ketentuan ini berlaku untuk seluruh alumni di manapun berada.
3- Mulai rapat minggu depan harus menghadirkan perwakilan masing-masing bidang agar lebih jelas langkah apa yang harus dilakukan dalam persiapan pelaksanaan acara kita ini.
4- Jika ada usulan mengenai bentuk acara yang akan diadakan masih di tampung penitia, atau silahkan langsung hubungi sekbid acara.
5- Panitia insyaAllah akan survey ke kampus koto baru untuk meninjau kemungkinan bantuan yang akan kita berikan untuk sekolah.



Demikian hasil rapat hari kemaren, Mohon do'a dan dukungan semua pihak agar acara kita berlangsung sesuai dengan yang di harapkan.

Minggu, 21 Oktober 2012

Membincang Integrasi Islamic Studies

Bagaimana Kajian Islam (Islamic Studies) pada tingkat global dewasa ini? Berbagai kejadian sejak peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat, kemudian pengeboman di London, Madrid, Bali, dan seterusnya meningkatkan mispersepsi dan distorsi di kalangan masyarakat Barat terhadap Islam dan masyarakat Muslim.

Kedua entitas ini sering dipandang masyarakat Barat sebagai entitas yang mengandung potensi kekerasan yang bisa meledak sewaktu-waktu, bukan hanya di AS dan Eropa, tetapi juga bahkan di negara-negara Muslim sendiri.

Perkembangan tidak menyenangkan ini mendorong banyak kalangan universitas dan pusat kajian Islam pada tingkat internasional untuk melihat kembali keadaan kajian Islam dalam rangka memberikan perspektif lebih akurat tentang Islam dan masyarakat Muslim.

Dalam konteks itu, terlihat relevansi pokok simposium tentang The State of Islamic Studies' yang diselenggarakan Consortium of Humanities Centers and Institutes (CHCI) yang berpusat di Duke University, AS, bekerja sama dengan Oxford Centre for Islamic Studies (OCIS), Oxford, Inggris, pada 26-28 September 2012 lalu.

Pembahasan tentang keadaan Kajian Islam terutama dilihat dari perspektif perkembangan ilmu-ilmu humaniora (humanities), seperti sejarah, teologi, kajian agama (religious studies), literatur dan sastra, dan antropologi. Ilmu-ilmu humaniora sendiri juga mengalami banyak perkembangan paradigma dan praktik, khususnya karena meningkatnya interaksi dan adopsi paradigma yang berkembang pula dalam ilmu-ilmu sosial, seperti ekonomi, sosiologi, dan ilmu politik.

Hasilnya, berbagai perkembangan dalam ilmu-ilmu humaniora ini membuka peluang besar untuk lebih memaju - kan kajian Islam, baik pada tingkatan normatif --teologis dan praktik ritual-- maupun pada tingkatan tradisi dan pengalaman historis, wacana, dan realitas masyarakat-masyarakat Muslim.

Adopsi berbagai perkembangan humaniora mengharuskan adanya kajian ulang terhadap paradigma dan praktik Kajian Islam yang sebenarnya sejak awal 1980-an, di berbagai tempat di Barat dan juga di Indonesia, Malaysia, Jepang, dan Korea, misalnya, mengalami banyak perkembangan signifikan.

Di Dunia Barat, pergeseran paradigma dimulai dengan penerbitan buku karya Edward Said, Orientalism (1978), tokoh Palestina yang sekaligus guru besar di Columbia University New York yang membongkar `kebusukan' motif, paradigma, dan praktik orientalisme dalam Kajian Islam. Singkatnya, Kajian Islam yang dilakukan para orientalis dimotivasi berbagai kepentingan kolonialisme, misionaris - meKristen, dan hegemoni budaya.

Walhasil, sejak awal 1980-an itu pula, istilah `orientalisme' kian jarang digunakan di kalangan para ahli dan pengkaji Islam. Hal ini tidak lain karena ia mengandung konotasi pejoratif. Banyak kalangan Barat yang mengkaji Islam kemudian lebih senang disebut sebagai Islamisis' daripada `orientalis'.

Bagi saya, paradigma dan praktik kajian Islam di berbagai negara dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kecenderungan utama. Pertama, kajian Islam di Barat pascaorientalisme yang menggunakan banyak paradigma humaniora dan ilmu sosial yang umumnya kritis-analitis.

Meski tidak lagi bersifat orientalistis, kajian Islam di Barat --seperti juga terungkap dalam Simposium Oxford-- cenderung mengabaikan sensitivitas normativisme keagamaan dan spiritualitas. Karena itulah dalam Simposium Oxford, nyaring suara tentang perlunyanya para Islamisis Barat untuk juga mempertimbangkan sensitivitas normatisme keagamaan Islam dan kaum Muslimin.

Kedua, kajian Islam di Dunia Arab yang di dominasi paradigma teologis normatif doktrinal dengan cenderung mengabaikan paradigma humaniora dan ilmu sosial. Karena itu, kajian Islam di Dunia Arab umumnya lebih bertumpu pada pengungkapan normativisme Islam dalam bidang kalam, tafsir, hadis, fikih dan seterusnya. Pada saat yang sama, pendekatan analitis-kritis cenderung tidak digunakan. Meski demikian, untuk kajian Islam normatif, universitas di dunia Arab tetap merupakan lokus pokok.

Ketiga, kajian Islam di Indonesia yang mengombinasikan antara kerangka teologis normatif dengan paradigma humaniora dan ilmu sosial. Kajian Islam yang bersifat normatif tetap menduduki tempat penting, misalnya, dalam lembaga pendidikan semacam UIN/IAIN/STAIN, PTN, dan PTS serta lembaga-lembaga riset. Namun, pada saat yang sama, berbagai paradigma hu maniora dan ilmu sosial --yang diperlakukan secara kritis-- sejak awal 1970-an kian banyak pula diterapkan. Sebab itu, kajian Islam di Indonesia tidak terperangkap belaka ke dalam normativisme agama --yang tentu saja juga penting-- pada tingkatan teologis-doktrinal, sekaligus juga melihat dinamika Islam historis, yang hidup dalam lingkungan masyarakat Muslim tertentu.

Dengan demikian, Kajian Islam di Indonesia memiliki distingsinya sendiri, yang sekaligus menjadi kekuatannya. Tetapi sayang, distingsi kajian Islam di Indonesia itu tidak banyak diketahui kalangan Barat dan Timur Tengah. Hal ini terkait dengan masih adanya sisa anggapan tentang identikasi Islam dengan Arab. Karena itu pula, kajian Islam di Indonesia masih cenderung diabaikan. Padahal, kajian Islam di Indonesia melibatkan sistem pendidikan tinggi Islam yang terbesar di muka bumi ini, seperti diwakili UIN/IAIN/STAIN dan PTAIS.

Berkaca pada kondisi tersebut, masih banyak hal yang harus dilakukan para pemikir dan praktisi kajian Islam di Indonesia. Tantangan mereka bukan hanya lebih memajukan Kajian Islam di negeri ini, tetapi sekaligus juga lebih memperkenalkannya ke dunia internasional. Sebab itu pula, internasionalisasi Kajian Islam Indonesia merupakan urgensi yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Republika; Mamak kito, Azyumazdi Azra

Selasa, 09 Oktober 2012

Prof. Syamsul Anwar Realist Buku dengan Pendekatan Berbasis Interdisipliner

Judul Buku : Interkoneksi Studi Hadis dan Astronomi
Penulis: Prof. Dr. Syamsul Anwar, MA.
Penerbit: Suara Muhammadiyah
Terbit: Oktober 2011
tebal : 230 + XII

Di tengah euphoria dan diskusi hangat yang sampai saat ini masih terus berlangsung paska perbedaan hari raya tempo hari, dunia astronomi kita mendapatkan kabar gembira dengan terbitnya satu karya dari seorang ulama Islam yang lahir dari persyarikatan Muhammadiyah, Prof. Dr. Syamsul Anwar. Buku yang berjudul Interkoneksi Studi Hadis dan Astronomi ini memiliki relevansi tersendiri karena menjadi satu tawaran metodologi yang dapat dijadikan pertimbangan untuk menyelesaikan pelbagai problematika yang tengah dihadapi umat Islam saat ini, baik di ranah praktis, maupun di ranah teoretis. Di ranah praktis, satu problem krusial yang sangat mendesak di tengah kita saat ini adalah bagaimana kita dapat menemukan suatu formula yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara syari, maupun secara astronomi, mengenai masa depan penentuan awal bulan hijriyah, bukan hanya dalam skala nasional dan regional, namun juga dalam skala global. Buku ini mengandung suatu gagasan yang bersifat futuristik, namun pada saat yang sama tetap berpijak pada suatu landasan keilmuan yang mengakar ke warisan khazanah Islam klasik.

Dalam ranah teoretis, buku ini menjadi jawaban atas tuduhan yang selama ini disematkan kepada umat Islam, baik oleh kalangan insider maupun outsider, berkenaan dengan miskinnya metodologi (the lack of methodology) baru dalam studi Islam. Studi Islam oleh sebagain kalangan dipersepsikan telah berada pada titik kulminasi, mentok, alias nadhaja wa ihtaraqa (matang kemudian terbakar), sehingga tidak dapat berkembang lagi. Buku ini menjadi bukti bahwa studi Islam secara general, diskusus ilmu hadis dan ilmu falak secara spesifik, sesungguhnya tidaklah berjalan di tempat. Buku ini menunjukkan bahwa suatu pembaruan dapat terus dilakukan terhadap teori dan metodologi keislaman, sehingga Islam tetap dapat mempertahankan dimensi aktualitas dan kompatibelitasnya dengan ruang kesejarahan manusia.

Dengan klasifikasi yang bersifat general, gagasan penting yang dapat disimpulkan dalam buku ini adalah: pertama, pentingnya paradigma interkoneksi dalam studi Islam. Paradigma ini semakin urgen untuk diterapkan mengingat problematika yang dihadapi umat Islam semakin kompleks. Kedua, pentingnya reinterpretasi nash-nash keagamaan (baik al-Quran maupun hadis) dengan wawasan yang saintifik dan empirik. Pembaruan perlu dilakukan terhadap pemikiran (state of mind) ulama di era klasik-skolastik yang masih bersifat, kalau boleh dikatakan narrow-mindedness, karena terkondisikan oleh situasi sosio kultural pada masa mereka masing-masing. Ketiga, afirmasi (penegasan ulang) mengenai pentingnya penerimaan hisab dalam penentuan awal bulan hijriyah, dan lebih khusus lagi untuk penyusunan kalender global.

Menurut hemat kami, penulis buku ini dapat sampai pada penemuan suatu metodologi baru karena dua hal; pertama, pendekatan yang digunakan untuk membaca metodologi keislaman klasik tidaklah bersifat ideologis, atau dalam bahasa Abid al-Jabiri "fahmu turast li al-turast"  (memahami tradisi masa lalu untuk masa lalu itu sendiri). Karena terbukti pendekatan seperti itu hanya akan menghasilkan pembacaan yang bersifat repetitif (qiraah mutakarrirah) dan antipembaruan. Sebagai contoh penulis dapat dengan leluasa mengambil sikap berbeda dari mayoritas juris (faqih) di era klasik yang cenderung memegang teguh paradigma rukyat. Dengan analisis ilmu keislaman, penulis dapat menunjukkan bahwa perintah untuk rukyat dalam banyak hadis adalah suatu nash yang bersifat kausatif (memiliki motif hukum), sehingga rukyat itu sendiri bukanlah merupakan suatu kewajiban agama (hal. 193-4). Analisis tersebut kemudian dikonfrontasikan dengan data-data astronomis kontemporer yang tidak dimiliki oleh fukaha di era klasik. Data tersebut misalnya adalah keterbatasan rukyah untuk dilakukan di wilayah-wilayah tertentu, seperti di sekitaran garis 60° LU dan 60° LS. Faktor kedua adalah karena adanya inklusifitas (keterbukaan) yang dimiliki penulis terhadap studi Islam kontemporer (dirasah islamiyyah mu’ashirah), baik yang berkembang di Barat maupun yang telah ditawarkan oleh beberapa ilmuan muslim sendiri. Dalam hal ini, penulis sesungguhnya sudah dapat disejajarkan dengan tokoh-tokoh sekelas Joseph Schacht, Harald Motzki (hal. 11-27), Jamaluddin Abdur Raziq dan Muhammad Syaukat Audah (hal. 56-61) yang dengan sangat lancar dilafalkan oleh penulis di berbagai kesempatan dalam bukunya. Dalam hubungannya dengan perkembangan ilmu hadis, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Prof. Syamsul Anwar dengan karya cemerlangnya iniadalah suatu lompatan sejarah setelah Ibnu Shalah (646 H/1248 M), Aldzahabi (748 H/1347 M), Ibnu Hajar (852 H/1148 M) dan Albani (1420 H/1999 M).

Sebagai catatan kecil yang dapat dipertimbangkan penulis untuk perbaikan buku ini di edisi selanjutnya adalah perlunya memasukkan eksplanasi (penjelasan) tentang alasan penggunaan kriteria visibilitas hilal (imkanur rukyat) versi ‘Audah sebagai kerangka teori. Dalam karya ini, penulis hanya menguraikan kriteria tersebut, namun melupakan penjelasan mengapa kriteria tersebut yang dipakai. Sebab, selain gagasan Audah, kita juga sebenarnya mengenal kriteria Babilonia, Konferensi Istanbul, MABIMS,bahkan Thomas Djamaluddin. Kedua, ini bersifat tehnis, perlunya membuat glosari (daftar-daftar istilah) di awal buku dan indeks di bagian akhir buku untuk memudahkan melakukan pelacakan terhadap istilah-istilah di dalam buku.

Kepada para pembaca, tulisan resensi ini menawarkan suatu bentuk respon yang proporsional untuk karya Prof. Syamsul Anwar. Bagi kelompok expert, buku ini layak untuk didekati dengan paradigmaeksploratif, verifikatif dan bahkan falsifikatif. Tiga paradigma tersebut akan semakin menajamkan gagasan buku ini. Bagi kalangan yang selama ini bersikukuh mempertahankan paradigma rukyat, sebaiknya buku ini tidak disikapi dengan skeptis, karena hal tersebut sesungguhnya hanya akan menjauhkan diri dari titik temu. Kepada para pembaca awam, buku ini dapat dijadikan sebagai pemacu semangat untuk lebih mendalami ilmu hadis dan ilmu falak. Seperti kata pepatah arab, “kun ‘aliman, aw muta’alliman, aw mustami’an, aw muhibban, wa la takun khamisan” (jadilah orang yang berilmu, atau orang yang belajar, atau orang yang mendengar, atau orang yang mencintai ilmu. Dan janganlah engkau jadi orang yang kelima).

Muhammad Rofiq, lc, M.A.