Kamis, 19 Januari 2012

Studi Islam Harus Terbuka pada Ilmu Lain

Narasumber: Prof Dr M Amin Abdullah


Studi dan kajian keislaman terus menggeliat di pusat-pusat ilmu pengetahuan. Di tengah kompleksitas tantangan yang dihadapi umat serta masyarakat pada era global ini, kehadiran studi keislaman kian dirasakan sebagai sebuah kebutuhan.

Guru Besar Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof Dr M Amin Abdullah, berpendapat, analisis yang canggih sangat diperlukan dalam menjawab aneka problematika di kalangan umat atau masyarakat pada umumnya. Sementara, tujuan dari studi atau kajian keislaman adalah menjawab dan memberi solusi terhadap persoalan yang berkembang. "Dengan begitu, ajaran Islam bisa menghadirkan kontribusi nyata,'' ujarnya.

Lebih jauh, Amin melihat, era modernitas dan globalisasi dewasa ini menuntut kajian Islam yang saintifik, yang secara serius melibatkan berbagai pendekatan. Pendekatan Islam yang monodisiplin tidak lagi memadai untuk menjawab tantangan zaman yang dihadapi umat di berbagai tempat.

Kepada wartawan Republika, Yusuf Assidiq yang mewawancarainya beberapa waktu lalu, mantan rektor UIN Sunan Kalijaga ini menguraikan panjang lebar tentang sejarah, perkembangan, dan masa depan kajian Islam. Berikut petikannya:


Sejauh mana kajian keislaman telah mampu merespons dinamika yang berkembang di tengah umat dan masyarakat dewasa ini?

Umat Muslim sebagai bagian masyarakat dunia tentu tidak boleh tinggal diam dan hanya menyaksikan perubahan yang sedang terjadi. Umat hendaknya menjadi bagian yang turut mewarnai kemajuan serta peradaban manusia.

Seperti diketahui, dalam sejarahnya, umat Muslim pernah mengukir kejayaan. Ini karena kuatnya bidang keilmuan yang dimiliki. Kajian keislaman tumbuh dengan pesat. Tapi, sejak abad ke-16 dan 17, peradaban besar ini tidak compete lagi dengan budaya Barat yang baru muncul.

Mereka menghadirkan teknik ilmu pengetahuan yang berbeda. Kalau kita ikuti history of thougt (sejarah pemikiran), tampak sekali persaingan antara empirisisme dan rasionalisme yang berlangsung. Wah, itu luar biasa sekali perdebatannya.Dari situlah, muncul jenis pengetahuan baru yang mendasarkan pada the principle of evidentalism. Prinsip-prinsip ilmu pengetahuan berdasar fakta, uji laboratorium, dan metode riset. Jadi, bukan lagi metode pemahaman yang umum.

Bukankah para ilmuwan dan sarjana Muslim klasik juga telah merintis upaya yang sama?

Ya, Ibnu Khaldun pada abad ke-14 dalam kitab Muqadimah, misalnya, sudah menyentuh bidang ilmu sosial meski bukan seperti yang dipahami kalangan Barat, juga yang lainnya. Akan tetapi, seiring munculnya kolonialisme, semuanya mandek.

Di sisi lain, 'sinyal' tadi ditangkap oleh ilmuwan Barat. Mereka terinspirasi oleh karya-karya dan pemikiran para sarjana Muslim, seperti Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, dan banyak lagi serta mengembangkannya sendiri secara lebih jauh. Ilmu pengetahuan di sana lantas maju pesat dengan beragam pencapaian penting. Pada abad ke-18, 19, dan 20, lahirlah sosiologi modern, antropologi, hingga etnografi. Belum lagi jika bicara tentang ilmu-ilmu sains yang lain.

Apa peran dari metode pengetahuan yang baru itu dalam memperkuat khazanah Islam?
Basis pemikiran budaya Islam pada abad pertengahan tetap dilanjutkan, tapi dengan fokus dan pengembangan untuk menjadi sains modern. Orang jadi memahami kekuatan alam yang bisa dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia.

Hanya saja, kini titik tekannya ada pada principle of evidentalism tadi, juga ditambah otonomy of reason. Dalam hal moral, setelah keluar teori Emmanuel Kant, dinyatakan bahwa akal yang terdidik bisa otonom untuk menentukan baik dan buruk.

Nah, akal ini jadi luar biasa implikasinya pada pengembangan sains, bahkan juga terhadap ilmu agama. Teologi Kristen berkembang seiring kemajuan sains. Sementara dalam pemahaman keislaman, karena dia tidak menciptakan sains modern, pembaruan-pembaruan semacam itu kurang dirasakan.

Lantas, sejak kapan studi keislaman menggeliat kembali?
Itu bermula beberapa abad selanjutnya. Sebagian kalangan terpelajar di Timur Tengah mulai bertanya-tanya, seperti Muhammad Abduh dan Syakib Arsalan, mengapa umat Muslim mengalami kemunduran, tetapi orang lain bisa maju?
Ada kegelisahan. Dari situ, mulailah umat Islam mencari masukan baru, studi komparasi. Maka, berkembanglah kajian Islam. Ini juga didukung dengan semakin majunya bidang pendidikan di sejumlah negara Islam.

Bagaimana menerapkan metodologi yang baru dalam aspek studi keislaman?

Teknik-teknik metodologi riset modern memang berbeda dengan teknik dan metodologi abad pertengahan. Salah satunya principle of evidentalism tadi. Suka tidak suka, kalau ingin disebut ilmu, ya harus ada bukti yang akurat. Tentu saja, itu akan memicu perdebatan yang sengit.

Bahkan, ketika muncul pemikiran Thomas Kunt bagaimana ilmu bisa maju karena shifting paradigm (pergeseran paradigma), perbedaannya bukan pada agama, melainkan pada metode dan pendekatannya. Demikian pula dengan prinsip otonomy of reason. Perlu digarisbawahi, ketika disebut teknik modern, bukan berarti meninggalkan agama. Para intelektual cukup kuat pemahaman agamanya, baik yang Muslim maupun non-Muslim.

Sebagian kalangan mengatakan, orientasi studi keilmuan kini berada di Barat. Pendapat Anda?
Saya tidak melihatnya antara Barat atau Timur, tetapi merupakan kekayaan kemanusiaan (human properties), dan itu bisa ada di Timur, Barat, atau di mana pun. Ini adalah prestasi budaya manusia. Bahwa kemudian yang terdepan itu ada di Barat, ya okelah, tapi tidak tertutup kemungkinan kutub itu berubah.

Akan tetapi, diakui atau tidak, kita pasti menikmati pula hasil-hasil dari sains modern, seperti karya alat komunikasi, transportasi, dan banyak lagi. Oleh sebab itu, saya selalu menekankan bahwa pengayaan perspektif harus menjadi arah kajian keislaman ke depan.

Bagaimana seharusnya umat menyikapi perkembangan tadi?

Sekarang kita ada dalam wilayah untuk bisa membandingkan apa yang telah dicapai pada abad pertengahan dengan yang sedang terjadi di era kontemporer. Sebagian ada yang bisa mengambil jarak dan lantas menganalisis, tapi ada yang tidak bisa.

Kalau bisa mengambil jarak, seseorang bisa melihat perbandingan tersebut secara lebih jernih. Wah, ternyata ada prinsip-prinsip baru dalam metodologi. Tapi, kalau hanya berada di dalam (involve), tentu menjadi tidak jernih lagi.

Nah, ketika saya sebut sains modern, agama juga berkembang lho. Namanya religious studies, bukan hanya teologi. Semuanya terlibat karena ini adalah perangkat keilmuan baru. Otomatis, metodologi dan pendekatan keilmuan yang baru ini punya pengaruh pada berbagai aspek, termasuk agama.

Jika demikian, prinsip studi Islam harus terbuka terhadap bidang ilmu lain?

Persis. Itu yang saya katakan. Islamic studies jangan lagi hanya monodisiplin, melainkan multi bahkan transdisiplin. Kita bisa menggunakan pendekatan ilmu sosiologi, antropologi, sains modern, yang pada akhirnya disebut dirasat.

Bisa dijelaskan lebih jauh tentang dirasat ini?

Ada periodisasi studi Islam. Diawali oleh masa 'ulum al-din (ilmu-ilmu agama Islam) pada era 1950-70-an, lalu al-fikr al-Islamiy (pemikiran Islam) era 1970-90-an. Kemudian terakhir, dirasat Islamiyah (Islamic studies/kajian Islam) dari tahun 1990-an hingga sekarang.

Pada periode awal, pengajaran Islam sebagai sebuah doktrin yang tak terbantahkan menjadi penekanan dari pendidikan agama (Islam). Di sini, kajian Islam secara normatif merupakan bagian panjang dari tradisi keilmuan agama Islam. Buku-buku ilmu kalam, hukum Islam (fikih), ilmu hadis, serta tafsir Alquran mewarnai corak ilmu keagamaan Islam.

Saat itu, paradigma yang berkembang mengikuti konsep Abid al Jabiri, yakni Bayani. Ini adalah pemikiran Islam dengan basis teks (al nash), yaitu Alquran dan hadis. Tumpuan dalam memahami teks terutama melalui kaidah bahasa.

Terdapat sejumlah kelemahan paradigma ini. Bayani kurang memiliki pijakan historis, sosiologis, dan antropologis. Hal itu pada akhirnya dapat menimbulkan kesenjangan antara teori dan praktik. Sulit baginya merespons kemajuan keilmuan yang bergerak cepat.

Hingga berikutnya, berkembang pemikiran Islam yang multidisiplin. Tradisi keilmuan sosial, humaniora, dan eksakta yang berkembang di berbagai tempat, direspons umat Muslim dengan melibatkan berbagai pendekatan. Sampai akhirnya mencapai tingkat dirasat Islamiyah. Konteksnya lebih maju, sudah menyentuh isu-isu kontemporer semisal hak asasi manusia, multikulturalisme, pelestarian lingkungan, dan banyak lagi. Dirasat inilah yang secara panjang lebar kita bicarakan.

Saat ini, apakah sudah tumbuh sarjana dirasat itu di Indonesia?

Harus diakui memang belum banyak. Karena dominasinya masih ulum udn din, atau paling banter fikr Islami. Belum masuk pada dirasat dengan berbagai perangkat pendekatan tadi. Sudah ada satu dua pusat studi Islam yang mengembangkan, tetapi overall belum banyak. Bahkan, mengenalkan nama-nama yang saya sebut tadi, belum semua dosen mengerti. Atau kalaupun mengerti, dijauhi. Karena mereka belum memahami akarnya.

Sejatinya, mereka itu adalah insider, tapi juga observer. Maksud saya, mereka sangat kritis dalam meneliti dengan menggunakan dua prinsip tadi. Maka, bisa saya katakan, perguruan tinggi Islam dan umum di Indonesia siap-siap saja menerima genre baru generasi ilmu ini, dan itu juga bagian dari budaya Islam. Genre baru ini kan orang-orang Islam generasi baru, yang sudah memperoleh pendidikan bagus sehingga punya daya kritis melihat realitas. Itulah bagian dari budaya Islam yang baru.

Mungkin ada kekhawatiran bahwa kritis itu terhadap teks?

Bukan seperti itu, kritis yang dilakukan adalah terhadap pemahaman teks. Itu saja problematik sekali. Saya tidak setuju jika mengkritisi teks. Yang bisa lebih diterima adalah mengkritisi pemahaman atau penafsiran terhadap teks.

Jadi, bedakan antara agama dan pemahaman keagamaan. Nah, dirasat sangat tegas dalam membedakan dua hal ini. Antara Islam dan pemikiran serta pemahaman keislaman. Islam punya wilayah yang sakral, tapi pemahaman dan interpretasi manusia, pasti melibatkan konstruksi budaya, sosial, dan lainnya. Dan, itu yang dikritisi oleh akal tadi.

Kita harus tahu di mana yang relevan dengan perkembangan zaman sehingga agama tidak kehilangan relevansi. Tapi, bisa jadi ada pemahaman keagamaan yang out of date dan pemahaman keagamaan Islam yang relevan dengan perkembangan zaman.

Apa kontribusi intelektual Muslim generasi baru tadi terhadap dinamika umat?
Kalau kita lihat, saat ini sedang berlangsung gejolak politik di beberapa negara Timur Tengah. Pergolakan politik itu sebenarnya sejak 70-an sudah diingatkan. Bahwa Islam itu bukan sekadar Islam, melainkan pula politik, dan dalam politik ada legitimasi kekuasaan. Ilmu sosial ya memang hanya bilang begitu, tapi kan terbukti meledaknya baru sekarang.
Jadi, apa kontribusi mereka, ya mengingatkan ini.

Ke depan, bagaimana perkembangan kajian keislaman menurut Anda?
Siapa pun yang akan menjadi pemimpin di masyarakat Muslim, harus mempertimbangkan kemajuan ini. Tidak bisa lagi berpikir sendirian. Dia harus juga memperhatikan orang lain yang berbeda dan tidak terpisahkan dari keberadaan kita. Saya kira itu makna yang penting.

Dengan begitu, nanti komunikasi kita akan lancar. Enak didengar orang dalam, juga tidak menyakiti kalangan luar. Ke depan, kita perlu ke sana. Sehingga, Islam menjadi bagian peradaban dunia, tidak terkucil, bahkan sanggup mewarnai kemajuan zaman. Itu yang, antara lain, disumbangkan oleh perkembangan dalam Islamic studies. ed: wachidah handasah


B I O DATA


Nama: Prof Dr M Amin Abdullah
Lahir : Pati, Jawa Tengah, 28 Juli 1953.
Istri : Nurkhayati
Anak : Silmi Rosda (1983), Gigay Citta Acikgenc (1993), Azmi Subha Adil Paramarta (1999)
Hobi : Membaca, joging, travelling

Pendidikan:
SMA : Kulliyah al-Mu'allimin al-Islamiyyah (KMI) Pondok Modern, Gontor, Ponorogo (1972)
Sarjana Muda : Institut Pendidikan Darussalam (IPD), Gontor, Ponorogo (1977)
Sarjana : Fakultas Ushuluddin, Jurusan Perbandingan Agama, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1982).
S-3 : Department of Philosophy, Faculty of Art and Sciences, Middle East Technical University (METU), Ankara, Turki (1990).
Post-Doctoral : McGill University, Kanada (1997-1998).

Disertasi
The Idea of University of Ethical Norms in Ghazali and Kant, diterbitkan di Turki (Ankara: Turkiye Diyanet Vakfi, 1992).

Karya-karya ilmiah lainnya yang diterbitkan, antara lain:
Falsafah Kalam di Era Postmodernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995)
Studi Agama: Normativitas atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996).
Dinamika Islam Kultural: Pemetaan atas Wacana Keislaman Kontemporer, (Bandung, Mizan, 2000); Antara al-Ghazali dan Kant : Filsafat Etika Islam, (Bandung: Mizan, 2002).
Pendidikan Agama Era Multikultural Multireligius, (Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005).
Pekerjaan

Saat ini dosen tetap Fakultas Ushuluddin, staf pengajar pada Program Doktor Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, IAIN Sunan Ampel Surabaya, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Fakultas Filsafat dan Program Studi Sastra (Kajian Timur Tengah) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
1993-1996: Asisten Direktur Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga
1992-1995: Wakil Kepala Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI) Universitas

Muhammadiyah Yogyakarta.
1998-2001: Pembantu Rektor I (Bidang Akademik) IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
2002-2005: Rektor IAIN/UIN Sunan Kalijaga.
2005-2010: Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (periode kedua)

Aktivitas lain
1991-1995: Ketua Divisi Ummat, ICMI, Orwil Daerah Istimewa Yogyakarta 1991-1995.
1995-2000: Ketua Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, PP Muhammadiyah
2000-2005: Wakil Ketua PP Muhammadiyah

Sumber: Republika, 15 Januari 2012

0 Komentar Aje':

Posting Komentar