Judul Buku : Interkoneksi Studi Hadis dan Astronomi
Penulis: Prof. Dr. Syamsul Anwar, MA.
Penerbit: Suara Muhammadiyah
Terbit: Oktober 2011
tebal : 230 + XII
Di tengah euphoria dan diskusi hangat yang sampai saat ini masih terus berlangsung paska perbedaan hari raya tempo hari, dunia astronomi kita mendapatkan kabar gembira dengan terbitnya satu karya dari seorang ulama Islam yang lahir dari persyarikatan Muhammadiyah, Prof. Dr. Syamsul Anwar. Buku yang berjudul Interkoneksi Studi Hadis dan Astronomi ini memiliki relevansi tersendiri karena menjadi satu tawaran metodologi yang dapat dijadikan pertimbangan untuk menyelesaikan pelbagai problematika yang tengah dihadapi umat Islam saat ini, baik di ranah praktis, maupun di ranah teoretis. Di ranah praktis, satu problem krusial yang sangat mendesak di tengah kita saat ini adalah bagaimana kita dapat menemukan suatu formula yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara syari, maupun secara astronomi, mengenai masa depan penentuan awal bulan hijriyah, bukan hanya dalam skala nasional dan regional, namun juga dalam skala global. Buku ini mengandung suatu gagasan yang bersifat futuristik, namun pada saat yang sama tetap berpijak pada suatu landasan keilmuan yang mengakar ke warisan khazanah Islam klasik.
Dalam ranah teoretis, buku ini menjadi jawaban atas tuduhan yang selama ini disematkan kepada umat Islam, baik oleh kalangan insider maupun outsider, berkenaan dengan miskinnya metodologi (the lack of methodology) baru dalam studi Islam. Studi Islam oleh sebagain kalangan dipersepsikan telah berada pada titik kulminasi, mentok, alias nadhaja wa ihtaraqa (matang
kemudian terbakar), sehingga tidak dapat berkembang lagi. Buku ini
menjadi bukti bahwa studi Islam secara general, diskusus ilmu
hadis dan ilmu falak secara spesifik, sesungguhnya tidaklah berjalan di
tempat. Buku ini menunjukkan bahwa suatu pembaruan dapat terus dilakukan
terhadap teori dan metodologi keislaman, sehingga Islam tetap dapat
mempertahankan dimensi aktualitas dan kompatibelitasnya dengan ruang
kesejarahan manusia.
Dengan klasifikasi yang bersifat general, gagasan penting yang dapat disimpulkan dalam buku ini adalah: pertama,
pentingnya paradigma interkoneksi dalam studi Islam. Paradigma ini
semakin urgen untuk diterapkan mengingat problematika yang dihadapi umat
Islam semakin kompleks. Kedua, pentingnya reinterpretasi nash-nash
keagamaan (baik al-Quran maupun hadis) dengan wawasan yang saintifik dan
empirik. Pembaruan perlu dilakukan terhadap pemikiran (state of mind) ulama di era klasik-skolastik yang masih bersifat, kalau boleh dikatakan narrow-mindedness, karena
terkondisikan oleh situasi sosio kultural pada masa mereka
masing-masing. Ketiga, afirmasi (penegasan ulang) mengenai pentingnya
penerimaan hisab dalam penentuan awal bulan hijriyah, dan lebih khusus
lagi untuk penyusunan kalender global.
Menurut hemat kami, penulis buku ini dapat sampai pada penemuan suatu metodologi baru karena dua hal; pertama,
pendekatan yang digunakan untuk membaca metodologi keislaman klasik
tidaklah bersifat ideologis, atau dalam bahasa Abid al-Jabiri "fahmu turast li al-turast" (memahami
tradisi masa lalu untuk masa lalu itu sendiri).
Karena terbukti pendekatan seperti itu hanya akan menghasilkan pembacaan
yang bersifat repetitif (qiraah mutakarrirah) dan antipembaruan.
Sebagai contoh penulis dapat dengan leluasa mengambil sikap berbeda
dari mayoritas juris (faqih) di era klasik yang cenderung memegang teguh
paradigma rukyat. Dengan analisis ilmu keislaman, penulis dapat
menunjukkan bahwa perintah untuk rukyat dalam banyak hadis adalah suatu
nash yang bersifat kausatif (memiliki motif hukum), sehingga rukyat itu
sendiri bukanlah merupakan suatu kewajiban agama (hal. 193-4). Analisis
tersebut kemudian dikonfrontasikan dengan data-data astronomis
kontemporer yang tidak dimiliki oleh fukaha di era klasik. Data tersebut
misalnya adalah keterbatasan rukyah untuk dilakukan di wilayah-wilayah
tertentu, seperti di sekitaran garis 60° LU dan 60° LS. Faktor kedua adalah karena adanya inklusifitas (keterbukaan) yang dimiliki penulis terhadap studi Islam kontemporer (dirasah islamiyyah mu’ashirah),
baik yang berkembang di Barat maupun yang telah ditawarkan oleh
beberapa ilmuan muslim sendiri. Dalam hal ini, penulis sesungguhnya
sudah dapat disejajarkan dengan tokoh-tokoh sekelas Joseph Schacht,
Harald Motzki (hal. 11-27), Jamaluddin Abdur Raziq dan Muhammad Syaukat
Audah (hal. 56-61) yang dengan sangat lancar dilafalkan oleh penulis di
berbagai kesempatan dalam bukunya. Dalam hubungannya dengan perkembangan
ilmu hadis, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Prof. Syamsul
Anwar dengan karya cemerlangnya iniadalah suatu lompatan sejarah setelah
Ibnu Shalah (646 H/1248 M), Aldzahabi (748 H/1347 M), Ibnu Hajar (852
H/1148 M) dan Albani (1420 H/1999 M).
Sebagai
catatan kecil yang dapat dipertimbangkan penulis untuk perbaikan buku
ini di edisi selanjutnya adalah perlunya memasukkan eksplanasi
(penjelasan) tentang alasan penggunaan kriteria visibilitas hilal
(imkanur rukyat) versi ‘Audah sebagai kerangka teori. Dalam karya ini,
penulis hanya menguraikan kriteria tersebut, namun melupakan penjelasan
mengapa kriteria tersebut yang dipakai. Sebab, selain gagasan Audah,
kita juga sebenarnya mengenal kriteria Babilonia, Konferensi Istanbul,
MABIMS,bahkan Thomas Djamaluddin. Kedua, ini bersifat tehnis, perlunya
membuat glosari (daftar-daftar istilah) di awal buku dan indeks di
bagian akhir buku untuk memudahkan melakukan pelacakan terhadap
istilah-istilah di dalam buku.
Kepada
para pembaca, tulisan resensi ini menawarkan suatu bentuk respon yang
proporsional untuk karya Prof. Syamsul Anwar. Bagi kelompok expert,
buku ini layak untuk didekati dengan paradigmaeksploratif, verifikatif
dan bahkan falsifikatif. Tiga paradigma tersebut akan semakin menajamkan
gagasan buku ini. Bagi kalangan yang selama ini bersikukuh
mempertahankan paradigma rukyat, sebaiknya buku ini tidak disikapi
dengan skeptis, karena hal tersebut sesungguhnya hanya akan menjauhkan
diri dari titik temu. Kepada para pembaca awam, buku ini dapat dijadikan
sebagai pemacu semangat untuk lebih mendalami ilmu hadis dan ilmu
falak. Seperti kata pepatah arab, “kun ‘aliman, aw muta’alliman, aw mustami’an, aw muhibban, wa la takun khamisan” (jadilah
orang yang berilmu, atau orang yang belajar, atau orang yang mendengar,
atau orang yang mencintai ilmu. Dan janganlah engkau jadi orang yang
kelima).
0 Komentar Aje':
Posting Komentar