Judul: Buya Hamka, Antara Kelurusan 'Aqidah dan Pluralisme
Isi: Bookpaper, XXIV + 218 hal. Sampul: Soft Cover
Penulis: Akmal Sjafril
Penerbit: Indie Publishing
Harga : Rp 60.000,- Pemesanan SMS 087878147997
"Buya Hamka adalah tokoh penting dalam sejarah Muhammadiyah dan salah satu ulama besar yang pernah dimiliki Indonesia. Pemikiran Hamka selalu menarik untuk dikaji secara akademik, baik dalam aspek teologis, tasawuf, peran perempuan maupun tema-tema lainnya. Akmal Sjafril adalah salah satu di antara para akademisi yang mengkaji pemikiran Hamka khusus tentang isu pluralisme agama -- sebuah isu yang belakangan ini kontroversial. Buku ini layak dibaca dan dibeli."
(Prof. Dr. Yunahar Ilyas, Lc., M.Ag., Ketua PP Muhammadiyah)
BELUM lama, pada 20 Maret 2012, salah satu peneliti INSISTS, Akmal Syafril, ST., M.Pd.I., menerbitkan bukunya yang berjudul Buya Hamka: Antara Kelurusan ‘Aqidah dan Pluralisme. Buku ini sebenarnya merupakan Tesis Master Pendidikan Islam di Universitas Ibn Khaldun Bogor. Penerbitan buku ini sangat penting untuk menjernihkan dan mempertegas pemikiran Buya Hamka tentang Pluralisme Agama.
Menurut penulisnya, pada awalnya penulisan buku ini bersumber dari sebuah makalah yang dibuatnya saat sedang mengikuti studi di Program Pascasarjana Pendidikan Islam Universitas Ibn Khaldun (UIKA), Bogor. Isinya mengulas sebuah artikel karya Ahmad Syafii Maarif yang dimuat di Rubrik Resonansi, surat kabar Republika, edisi 21 November 2006, yang diberi judul “Hamka Tentang Ayat 62 Al-Baqarah dan Ayat 69 Al-Maidah”.
Sebagian besar isinya adalah kutipan-kutipan dari Tafsir Al Azhar karya Buya Hamka. Di bagian awalnya, Syafii Maarif menjelaskan alasan di balik penelitiannya terhadap kedua ayat ini: “Pada suatu hari bulan November 2006 datanglah sebuah pesan singkat dari seorang jenderal polisi yang sedang bertugas di Poso menanyakan tentang maksud ayat 62 surat al-Baqarah. Kata jenderal ini pengertian ayat ini penting baginya untuk menghadapi beberapa tersangka kerusuhan yang ditangkap di sana.”
Di antara berbagai kutipan Tafsir Al Azhar dari artikel tersebut, inilah salah satunya yang nampaknya paling penting: “Inilah janjian yang adil dari Tuhan kepada seluruh manusia, tidak pandang dalam agama yang mana mereka hidup, atau merk apa yang diletakkan kepada diri mereka, namun mereka masing-masing akan mendapat ganjaran atau pahala di sisi Tuhan, sepadan dengan iman dan amal shalih yang telah mereka kerjakan itu.”
Setelah menjelaskan bahwa Hamka menolak pendapat yang menyatakan bahwa ayat ke-62 dalam Surah al-Baqarah telah di¬-nasakh oleh ayat ke-85 dalam Surah Ali ‘Imran, Syafii Maarif pun memungkas artikelnya dengan opini berikut: “Sikap Hamka yang menolak bahwa ayat 62 al-Baqarah dan ayat 69 al-Maidah telah dimansukhkan oleh ayat 85 surat Ali ‘Imran adalah sebuah keberanian seorang mufassir yang rindu melihat dunia ini aman untuk didiami oleh siapa saja, mengaku beragama atau tidak, asal saling menghormati dan saling menjaga pendirian masing-masing. Sepengetahuan saya tidak ada Kitab Suci di muka bumi ini yang memiliki ayat toleransi seperti yang diajarkan Al-Quran. Pemaksaan dalam agama adalah sikap yang anti Al-Quran (lih. al-Baqarah 256; Yunus 99).”
Memang, setelah keluarnya tulisan Syafii Maarif tersebut, terjadi perdebatan yang cukup seru di Rubrik Opini Harian Republika. Saya pun segera menulis artikel yang menjawab artikel Syafii Maarif tersebut. Intinya, saya menegaskan, bahwa Buya Hamka sama sekali bukan seorang Pluralis Agama. Perlu dicatat, bahwa Pluralisme Agama, dalam CAP ini adalah paham yang menyatakan bahwa semua agama merupakan jalan yang sah menuju inti realitas keagamaan. Dalam Pluralisme agama, tidak ada satu agama yang merasa superior dibanding yang lain. Tapi, setiap agama dipandang sebagai jalan yang sama-sama sah menuju kebenaran dan Tuhan (In pluralism, no one religion is superior to any other; each and every religion is equally valid way to truth and God). (Alister E. Mcgrath, Christian Theology: an Introduction, (Oxford: Blackwell Publisher, 1994).
Menurut Akmal, dalam makalahnya, ia mengaku menemukan beberapa kesalahan fatal yang telah dilakukan oleh Syafii Maarif dalam pengutipan Tafsir Al Azhar tersebut, terlepas dari ada-tidaknya unsur kesengajaan.
Kesalahan pertama, adalah perihal penggunaan kedua ayat tersebut yang jauh dari konteks aslinya. Syafii Maarif – dan sang Jenderal Polisi yang berkonsultasi dengannya – menganggap bahwa kedua ayat ini dapat digunakan untuk menanggulangi konflik horizontal di Poso. Dari paragraf kesimpulan yang ditulis oleh Syafii Maarif sebelumnya, kita dapat memahami bahwa konflik horizontal yang dimaksud adalah konflik antar umat beragama. Karena digali dari al-Qur’an, maka dapat dipahami pula bahwa penelaahan ini digunakan untuk meredam keinginan sementara pihak di kalangan umat Muslim untuk melakukan kekerasan pada umat lain.
Padahal, tegas Akmal, jika Tafsir Al Azhar dibaca secara runut, akan ditemukan asbabun nuzul dari ayat ke-62 dalam Surah al-Baqarah itu, yakni untuk menjawab pertanyaan Salman al-Farisi r.a. seputar orang-orang sholeh yang dijumpainya di masa lampau, sedangkan orang-orang tersebut beragama Nasrani, Yahudi dan lain-lain. Kesalahan kontekstual ini akan terlihat jelas kemudian.
Kesalahan kedua disebabkan oleh kelengahan Syafii Maarif untuk melacak penjelasan nama-nama agama “Yahudi”, “Nasrani” dan “Shabi’in” dalam Tafsir Al Azhar. Padahal, Buya Hamka sudah menjelaskan masalah ini. Menurut Hamka, “Yahudi” (berasal dari nama Yehuda, salah satu anak Nabi Ya’qub as) pada hakikatnya adalah agama-keluarga, “Nasrani” (berasal dari nama Nashirah, yaitu daerah kelahiran Nabi ‘Isa as) pada hakikatnya adalah agama-bangsa, dan “Shabi’in” adalah nama yang diberikan bagi orang yang keluar dari agama nenek moyangnya, sehingga Nabi Muhammad Shallahu ‘Alaihi Wassalam pun pernah disebut sebagai shabi’.
Dengan definisi tersebut, maka orang yang terlanjur dikenal sebagai Yahudi, Nasrani dan Shabi’in di masa lampau (yaitu sebelum masa kenabian Rasulullah saw) bisa beriman dan tak beriman. Contoh yang dapat diambil adalah Pendeta Bahira. Sejarah mengenalnya sebagai tokoh yang pertama kali membenarkan kenabian Muhammad Shallahu ‘Alaihi Wassalam berdasarkan tanda-tanda yang diketahuinya dari Injil, dan oleh karena itu, ia dikategorikan sebagai orang yang beriman.
Meski demikian, Bahira tetaplah dikenal sebagai penganut agama Nasrani, karena memang ia tidak sempat mengikuti ajaran Nabi Muhammad. Tentu saja, Bahira dapat dianggap sebagai Nasrani yang beriman hanya karena ia hidup pada masa pra-kenabian Rasulullah saw. Jika ia sempat bertemu dengan dakwah Rasulullah, tentu ia harus mengucap syahadatain, dan hanya dengan cara itulah ia bisa dianggap sebagai orang yang beriman. Hal ini akan semakin jelas pada poin berikutnya.
Kesalahan ketiga – mungkin yang paling fatal – adalah tidak dicantumkannya sebuah paragraf penting yang dapat ditemukan di akhir penjelasan ayat ke-62 dalam Surah al-Baqarah dalam Tafsir Al Azhar yang justru menyimpulkan pendapat Buya Hamka yang sebenarnya secara utuh. Penjelasannya adalah sebagai berikut: “Yahudi dan Nasrani sudah sepatutnya terlebih dahulu percaya kepada kerasulan Muhammad apabila keterangan tentang diri beliau telah mereka terima. Dan dengan demikian mereka namanya telah benar-benar menyerah (Muslim) kepada Tuhan. Tetapi kalau keterangan telah sampai, namun mereka menolak juga, niscaya nerakalah tempat mereka kelak.”
Umumnya, kesimpulan dari sebuah uraian ilmiah, termasuk penafsiran al-Qur’an, dapat dijumpai di bagian akhirnya. “Dengan menyimak betapa pentingnya penjelasan di atas, kita pun bertanya-tanya mengapa Syafii Maarif justru memilih untuk meninggalkan penjelasan ini, yang – jika dicantumkan – akan segera menghapus kesan pluralis dari sosok Buya Hamka dalam artikel tersebut?” tulis Akmal, yang sebelumnya sudah dikenal sebagai penulis buku “Islam Liberal 101”. .
Opini dan kesan bahwa ‘Buya Hamka seorang pluralis’, bagaimana pun, telah terlanjur bergulir. Hanya berselang enam hari dari dimuatnya artikel Syafii Maarif tentang Tafsir Al Azhar di surat kabar Republika, Ayang Utriza NWAY menyampaikan makalahnya dalam acara diskusi publik bertajuk Islam dan Kemajemukan di Indonesia. Diskusi publik tersebut diadakan sebagai rangkaian kegiatan dalam Nurcholish Madjid Memorial Lecture di sebuah Perguruan Tinggi di Banten. Makalah yang dibawakannya berjudul “Islam dan Pluralisme di Indonesia: Pandangan Sejarah”. Dalam makalahnya, Ayang bahkan telah melangkah lebih jauh lagi daripada Syafii Maarif. Setelah mengutip beberapa poin dalam Tafsir Al Azhar – lagi-lagi untuk QS. al-Baqarah [2]: 62 – Ayang menyimpulkan:
“Ini berarti bahwa walaupun seseorang mengaku beragama Islam, yang hanya bermodalkan dua kalimat syahadat, tetapi tidak pernah menjalankan rukun Islam, maka ia tidak akan pernah mendapat ganjaran dari Allah, yaitu surga. Sebaliknya jika ada non-Muslim yang taat dan patuh menjalankan ajaran agamanya, walaupun tidak mengucapkan dua kalimat syahadat, maka dia akan mendapatkan ganjaran dari Allah: surga.”
Menurut Akmal, tidaklah sulit menunjukkan kesalahan (untuk tidak menyebutnya ketidakjujuran) fatal yang dilakukan oleh Ayang Utriza NWAY. Saya pribadi (Adian Husaini) juga menemukan tulisan Ayang Utriza yang menfitnah Buya Hamka dalam buku Bayang-bayang Fanatisisme: Esei-esei untuk Mengenang Nurcholish Madjid, (Jakarta: Universitas Paramadina, 2007). Kutipan makalah Peneliti di Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina itu dimuat di halaman 307.
Saya sudah menulis jawaban terhadap tulisan Ayang tersebut untuk buku 100 Tahun Buya Hamka. Bahkan, saat bertemu keluarga Hamka, saya sampaikan keprihatinan saya tentang tulisan-tulisan yang menfitnah Buya Hamka. Akan tetapi, meskipun artikel dan makalah sudah kita tulis di berbagai media massa, tetap saja pendapat yang mengutip tulisan Buya Hamka secara tidak proporsional juga terus berkeliaran. Bahkan, hingga kini, tak ada koreksi terhadap kekeliruan yang sudah dilakukan.
Dalam kaitan itulah, hadirnya buku Akmal ini menjadi penting. Fungsinya, untuk memperjelas posisi Hamka dalam soal Pluralisme Agama dan membentengi upaya orang-orang yang mengutip tulisan Hamka secara tidak proporsional atau bahkan memuarbalikkan makna tulisan Hamka yang sebenarnya. Menurut Akmal, itulah yang mendasarinya mengembangkan makalahnya menjadi sebuah Tesis dengan judul Studi Komparatif Antara Pluralisme Agama dengan Konsep Hubungan Antar Umat Beragama dalam Pemikiran Hamka. Sesuai dengan judulnya, tesis ini tidak hanya membahas kontroversi dari artikel Syafii Maarif dan makalah Ayang Utriza NWAY belaka, melainkan mengupas tuntas jawaban dari sebuah pertanyaan besar: apakah Buya Hamka memang seorang pluralis? Buku Buya Hamka: Antara Kelurusan ‘Aqidah dan Pluralisme merupakan hasil adaptasi dari tesis tersebut.
Persoalan paling fundamental yang pasti muncul ketika membahas pluralisme, sebagaimana dijelaskan oleh Anis Malik Thoha dalam bukunya Tren Pluralisme Agama, adalah mendefinisikan makna Pluralisme itu sendiri. Masing-masing pihak yang mengusung pluralisme memiliki konsepnya sendiri-sendiri, bahkan tidak jarang orang menulis sebuah makalah atau buku tentang pluralisme tanpa pernah memberikan definisi pluralisme itu. Oleh karena itu, buku ini pun menguraikan secara mendalam persoalan definisi pluralisme, sejarah pluralisme dan tren-tren pluralisme yang ada. Hal-hal ini dijabarkan di dalam bab ketiga.
Setelah menjelaskan tren-tren tersebut, bab keempat dalam buku ini menguraikan argumen-argumen yang digunakan oleh kaum pluralis dari kalangan Muslim, terutama dengan bersandar pada sejumlah ayat al-Qur’an. Pembahasan ini cukup penting, selain karena posisi sentral al-Qur’an dalam ajaran Islam, juga karena tokoh yang pemikirannya sedang dibahas – yaitu Buya Hamka – adalah seorang mufassir. Dengan memperbandingkan penafsiran Hamka dengan penjelasan ayat-ayat tersebut oleh kaum pluralis Muslim, kita bisa mendapatkan gambaran yang jelas mengenai persamaan dan/atau perbedaan cara berpikir keduanya.
Karena pada masa hidup Buya Hamka dahulu istilah “pluralisme” belum dikenal, maka penulis buku ini merasa perlu menguraikan konsep hubungan antar umat beragama menurut Hamka ke dalam beberapa poin penting. Poin-poin ini merupakan hal-hal yang sangat fundamental dalam gagasan pluralisme, misalnya konsep agama, posisi Islam di antara agama-agama lainnya, pandangan seputar aliran-aliran yang menyimpang, pengejawantahan toleransi beragama, dan sebagainya.
Sebagai contoh, seorang pluralis pasti menganggap Islam sejajar dan tidak lebih unggul daripada agama lainnya. Siapa pun yang berpikiran seperi itu, maka ia memang seorang pluralis. Tetapi Hamka tidak berpikiran seperti itu. Referensi yang telah ditinggalkan oleh Hamka begitu berlimpah, sehingga usaha pencarian jawaban atas pertanyaan-pertanyaan semacam ini tidaklah sulit untuk dilakukan.
Walhasil, di tengah carut-marutnya pemikiran di Indonesia dewasa ini, buku Buya Hamka: Antara Kelurusan ‘Aqidah dan Pluralisme karya Saudara Akmal ini cukup memberikan penjelasan tuntas seputar kesemrawutan konsep pluralisme. Karya ini diharapkan mampu merangsang kembali minat para pemuda Muslim untuk menggali kembali warisan intelektual dari Buya Hamka, dan juga dari para cendekiawan Muslim terdahulu lainnya.
“Adapun seputar ‘klaim pluralisme’ terhadap pribadi Hamka, insya Allah mereka yang sudah tuntas membaca buku ini tidak akan memiliki keraguan lagi,” tulis Akmal yang menyelesaikan sarjana S-1 nya di bidang civil engineering di Institut Teknologi Bandung.
Menurut penulisnya, pada awalnya penulisan buku ini bersumber dari sebuah makalah yang dibuatnya saat sedang mengikuti studi di Program Pascasarjana Pendidikan Islam Universitas Ibn Khaldun (UIKA), Bogor. Isinya mengulas sebuah artikel karya Ahmad Syafii Maarif yang dimuat di Rubrik Resonansi, surat kabar Republika, edisi 21 November 2006, yang diberi judul “Hamka Tentang Ayat 62 Al-Baqarah dan Ayat 69 Al-Maidah”.
Sebagian besar isinya adalah kutipan-kutipan dari Tafsir Al Azhar karya Buya Hamka. Di bagian awalnya, Syafii Maarif menjelaskan alasan di balik penelitiannya terhadap kedua ayat ini: “Pada suatu hari bulan November 2006 datanglah sebuah pesan singkat dari seorang jenderal polisi yang sedang bertugas di Poso menanyakan tentang maksud ayat 62 surat al-Baqarah. Kata jenderal ini pengertian ayat ini penting baginya untuk menghadapi beberapa tersangka kerusuhan yang ditangkap di sana.”
Di antara berbagai kutipan Tafsir Al Azhar dari artikel tersebut, inilah salah satunya yang nampaknya paling penting: “Inilah janjian yang adil dari Tuhan kepada seluruh manusia, tidak pandang dalam agama yang mana mereka hidup, atau merk apa yang diletakkan kepada diri mereka, namun mereka masing-masing akan mendapat ganjaran atau pahala di sisi Tuhan, sepadan dengan iman dan amal shalih yang telah mereka kerjakan itu.”
Setelah menjelaskan bahwa Hamka menolak pendapat yang menyatakan bahwa ayat ke-62 dalam Surah al-Baqarah telah di¬-nasakh oleh ayat ke-85 dalam Surah Ali ‘Imran, Syafii Maarif pun memungkas artikelnya dengan opini berikut: “Sikap Hamka yang menolak bahwa ayat 62 al-Baqarah dan ayat 69 al-Maidah telah dimansukhkan oleh ayat 85 surat Ali ‘Imran adalah sebuah keberanian seorang mufassir yang rindu melihat dunia ini aman untuk didiami oleh siapa saja, mengaku beragama atau tidak, asal saling menghormati dan saling menjaga pendirian masing-masing. Sepengetahuan saya tidak ada Kitab Suci di muka bumi ini yang memiliki ayat toleransi seperti yang diajarkan Al-Quran. Pemaksaan dalam agama adalah sikap yang anti Al-Quran (lih. al-Baqarah 256; Yunus 99).”
Memang, setelah keluarnya tulisan Syafii Maarif tersebut, terjadi perdebatan yang cukup seru di Rubrik Opini Harian Republika. Saya pun segera menulis artikel yang menjawab artikel Syafii Maarif tersebut. Intinya, saya menegaskan, bahwa Buya Hamka sama sekali bukan seorang Pluralis Agama. Perlu dicatat, bahwa Pluralisme Agama, dalam CAP ini adalah paham yang menyatakan bahwa semua agama merupakan jalan yang sah menuju inti realitas keagamaan. Dalam Pluralisme agama, tidak ada satu agama yang merasa superior dibanding yang lain. Tapi, setiap agama dipandang sebagai jalan yang sama-sama sah menuju kebenaran dan Tuhan (In pluralism, no one religion is superior to any other; each and every religion is equally valid way to truth and God). (Alister E. Mcgrath, Christian Theology: an Introduction, (Oxford: Blackwell Publisher, 1994).
Menurut Akmal, dalam makalahnya, ia mengaku menemukan beberapa kesalahan fatal yang telah dilakukan oleh Syafii Maarif dalam pengutipan Tafsir Al Azhar tersebut, terlepas dari ada-tidaknya unsur kesengajaan.
Kesalahan pertama, adalah perihal penggunaan kedua ayat tersebut yang jauh dari konteks aslinya. Syafii Maarif – dan sang Jenderal Polisi yang berkonsultasi dengannya – menganggap bahwa kedua ayat ini dapat digunakan untuk menanggulangi konflik horizontal di Poso. Dari paragraf kesimpulan yang ditulis oleh Syafii Maarif sebelumnya, kita dapat memahami bahwa konflik horizontal yang dimaksud adalah konflik antar umat beragama. Karena digali dari al-Qur’an, maka dapat dipahami pula bahwa penelaahan ini digunakan untuk meredam keinginan sementara pihak di kalangan umat Muslim untuk melakukan kekerasan pada umat lain.
Padahal, tegas Akmal, jika Tafsir Al Azhar dibaca secara runut, akan ditemukan asbabun nuzul dari ayat ke-62 dalam Surah al-Baqarah itu, yakni untuk menjawab pertanyaan Salman al-Farisi r.a. seputar orang-orang sholeh yang dijumpainya di masa lampau, sedangkan orang-orang tersebut beragama Nasrani, Yahudi dan lain-lain. Kesalahan kontekstual ini akan terlihat jelas kemudian.
Kesalahan kedua disebabkan oleh kelengahan Syafii Maarif untuk melacak penjelasan nama-nama agama “Yahudi”, “Nasrani” dan “Shabi’in” dalam Tafsir Al Azhar. Padahal, Buya Hamka sudah menjelaskan masalah ini. Menurut Hamka, “Yahudi” (berasal dari nama Yehuda, salah satu anak Nabi Ya’qub as) pada hakikatnya adalah agama-keluarga, “Nasrani” (berasal dari nama Nashirah, yaitu daerah kelahiran Nabi ‘Isa as) pada hakikatnya adalah agama-bangsa, dan “Shabi’in” adalah nama yang diberikan bagi orang yang keluar dari agama nenek moyangnya, sehingga Nabi Muhammad Shallahu ‘Alaihi Wassalam pun pernah disebut sebagai shabi’.
Dengan definisi tersebut, maka orang yang terlanjur dikenal sebagai Yahudi, Nasrani dan Shabi’in di masa lampau (yaitu sebelum masa kenabian Rasulullah saw) bisa beriman dan tak beriman. Contoh yang dapat diambil adalah Pendeta Bahira. Sejarah mengenalnya sebagai tokoh yang pertama kali membenarkan kenabian Muhammad Shallahu ‘Alaihi Wassalam berdasarkan tanda-tanda yang diketahuinya dari Injil, dan oleh karena itu, ia dikategorikan sebagai orang yang beriman.
Meski demikian, Bahira tetaplah dikenal sebagai penganut agama Nasrani, karena memang ia tidak sempat mengikuti ajaran Nabi Muhammad. Tentu saja, Bahira dapat dianggap sebagai Nasrani yang beriman hanya karena ia hidup pada masa pra-kenabian Rasulullah saw. Jika ia sempat bertemu dengan dakwah Rasulullah, tentu ia harus mengucap syahadatain, dan hanya dengan cara itulah ia bisa dianggap sebagai orang yang beriman. Hal ini akan semakin jelas pada poin berikutnya.
Kesalahan ketiga – mungkin yang paling fatal – adalah tidak dicantumkannya sebuah paragraf penting yang dapat ditemukan di akhir penjelasan ayat ke-62 dalam Surah al-Baqarah dalam Tafsir Al Azhar yang justru menyimpulkan pendapat Buya Hamka yang sebenarnya secara utuh. Penjelasannya adalah sebagai berikut: “Yahudi dan Nasrani sudah sepatutnya terlebih dahulu percaya kepada kerasulan Muhammad apabila keterangan tentang diri beliau telah mereka terima. Dan dengan demikian mereka namanya telah benar-benar menyerah (Muslim) kepada Tuhan. Tetapi kalau keterangan telah sampai, namun mereka menolak juga, niscaya nerakalah tempat mereka kelak.”
Umumnya, kesimpulan dari sebuah uraian ilmiah, termasuk penafsiran al-Qur’an, dapat dijumpai di bagian akhirnya. “Dengan menyimak betapa pentingnya penjelasan di atas, kita pun bertanya-tanya mengapa Syafii Maarif justru memilih untuk meninggalkan penjelasan ini, yang – jika dicantumkan – akan segera menghapus kesan pluralis dari sosok Buya Hamka dalam artikel tersebut?” tulis Akmal, yang sebelumnya sudah dikenal sebagai penulis buku “Islam Liberal 101”. .
Opini dan kesan bahwa ‘Buya Hamka seorang pluralis’, bagaimana pun, telah terlanjur bergulir. Hanya berselang enam hari dari dimuatnya artikel Syafii Maarif tentang Tafsir Al Azhar di surat kabar Republika, Ayang Utriza NWAY menyampaikan makalahnya dalam acara diskusi publik bertajuk Islam dan Kemajemukan di Indonesia. Diskusi publik tersebut diadakan sebagai rangkaian kegiatan dalam Nurcholish Madjid Memorial Lecture di sebuah Perguruan Tinggi di Banten. Makalah yang dibawakannya berjudul “Islam dan Pluralisme di Indonesia: Pandangan Sejarah”. Dalam makalahnya, Ayang bahkan telah melangkah lebih jauh lagi daripada Syafii Maarif. Setelah mengutip beberapa poin dalam Tafsir Al Azhar – lagi-lagi untuk QS. al-Baqarah [2]: 62 – Ayang menyimpulkan:
“Ini berarti bahwa walaupun seseorang mengaku beragama Islam, yang hanya bermodalkan dua kalimat syahadat, tetapi tidak pernah menjalankan rukun Islam, maka ia tidak akan pernah mendapat ganjaran dari Allah, yaitu surga. Sebaliknya jika ada non-Muslim yang taat dan patuh menjalankan ajaran agamanya, walaupun tidak mengucapkan dua kalimat syahadat, maka dia akan mendapatkan ganjaran dari Allah: surga.”
Menurut Akmal, tidaklah sulit menunjukkan kesalahan (untuk tidak menyebutnya ketidakjujuran) fatal yang dilakukan oleh Ayang Utriza NWAY. Saya pribadi (Adian Husaini) juga menemukan tulisan Ayang Utriza yang menfitnah Buya Hamka dalam buku Bayang-bayang Fanatisisme: Esei-esei untuk Mengenang Nurcholish Madjid, (Jakarta: Universitas Paramadina, 2007). Kutipan makalah Peneliti di Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina itu dimuat di halaman 307.
Saya sudah menulis jawaban terhadap tulisan Ayang tersebut untuk buku 100 Tahun Buya Hamka. Bahkan, saat bertemu keluarga Hamka, saya sampaikan keprihatinan saya tentang tulisan-tulisan yang menfitnah Buya Hamka. Akan tetapi, meskipun artikel dan makalah sudah kita tulis di berbagai media massa, tetap saja pendapat yang mengutip tulisan Buya Hamka secara tidak proporsional juga terus berkeliaran. Bahkan, hingga kini, tak ada koreksi terhadap kekeliruan yang sudah dilakukan.
Dalam kaitan itulah, hadirnya buku Akmal ini menjadi penting. Fungsinya, untuk memperjelas posisi Hamka dalam soal Pluralisme Agama dan membentengi upaya orang-orang yang mengutip tulisan Hamka secara tidak proporsional atau bahkan memuarbalikkan makna tulisan Hamka yang sebenarnya. Menurut Akmal, itulah yang mendasarinya mengembangkan makalahnya menjadi sebuah Tesis dengan judul Studi Komparatif Antara Pluralisme Agama dengan Konsep Hubungan Antar Umat Beragama dalam Pemikiran Hamka. Sesuai dengan judulnya, tesis ini tidak hanya membahas kontroversi dari artikel Syafii Maarif dan makalah Ayang Utriza NWAY belaka, melainkan mengupas tuntas jawaban dari sebuah pertanyaan besar: apakah Buya Hamka memang seorang pluralis? Buku Buya Hamka: Antara Kelurusan ‘Aqidah dan Pluralisme merupakan hasil adaptasi dari tesis tersebut.
Persoalan paling fundamental yang pasti muncul ketika membahas pluralisme, sebagaimana dijelaskan oleh Anis Malik Thoha dalam bukunya Tren Pluralisme Agama, adalah mendefinisikan makna Pluralisme itu sendiri. Masing-masing pihak yang mengusung pluralisme memiliki konsepnya sendiri-sendiri, bahkan tidak jarang orang menulis sebuah makalah atau buku tentang pluralisme tanpa pernah memberikan definisi pluralisme itu. Oleh karena itu, buku ini pun menguraikan secara mendalam persoalan definisi pluralisme, sejarah pluralisme dan tren-tren pluralisme yang ada. Hal-hal ini dijabarkan di dalam bab ketiga.
Setelah menjelaskan tren-tren tersebut, bab keempat dalam buku ini menguraikan argumen-argumen yang digunakan oleh kaum pluralis dari kalangan Muslim, terutama dengan bersandar pada sejumlah ayat al-Qur’an. Pembahasan ini cukup penting, selain karena posisi sentral al-Qur’an dalam ajaran Islam, juga karena tokoh yang pemikirannya sedang dibahas – yaitu Buya Hamka – adalah seorang mufassir. Dengan memperbandingkan penafsiran Hamka dengan penjelasan ayat-ayat tersebut oleh kaum pluralis Muslim, kita bisa mendapatkan gambaran yang jelas mengenai persamaan dan/atau perbedaan cara berpikir keduanya.
Karena pada masa hidup Buya Hamka dahulu istilah “pluralisme” belum dikenal, maka penulis buku ini merasa perlu menguraikan konsep hubungan antar umat beragama menurut Hamka ke dalam beberapa poin penting. Poin-poin ini merupakan hal-hal yang sangat fundamental dalam gagasan pluralisme, misalnya konsep agama, posisi Islam di antara agama-agama lainnya, pandangan seputar aliran-aliran yang menyimpang, pengejawantahan toleransi beragama, dan sebagainya.
Sebagai contoh, seorang pluralis pasti menganggap Islam sejajar dan tidak lebih unggul daripada agama lainnya. Siapa pun yang berpikiran seperi itu, maka ia memang seorang pluralis. Tetapi Hamka tidak berpikiran seperti itu. Referensi yang telah ditinggalkan oleh Hamka begitu berlimpah, sehingga usaha pencarian jawaban atas pertanyaan-pertanyaan semacam ini tidaklah sulit untuk dilakukan.
Walhasil, di tengah carut-marutnya pemikiran di Indonesia dewasa ini, buku Buya Hamka: Antara Kelurusan ‘Aqidah dan Pluralisme karya Saudara Akmal ini cukup memberikan penjelasan tuntas seputar kesemrawutan konsep pluralisme. Karya ini diharapkan mampu merangsang kembali minat para pemuda Muslim untuk menggali kembali warisan intelektual dari Buya Hamka, dan juga dari para cendekiawan Muslim terdahulu lainnya.
“Adapun seputar ‘klaim pluralisme’ terhadap pribadi Hamka, insya Allah mereka yang sudah tuntas membaca buku ini tidak akan memiliki keraguan lagi,” tulis Akmal yang menyelesaikan sarjana S-1 nya di bidang civil engineering di Institut Teknologi Bandung.
Sumber: Insisnet.com
0 Komentar Aje':
Posting Komentar