Sejak mencuatnya
Rancangan Undang-Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG), publik mulai
disibukkan dengan beragam sikap yang beragam. Berbagai kalangan beranggapan
bahwa RUU KKG patut untuk diperjuangkan, karena secara universal RUU ini jelas
mengusung tentang pemenuhan hak azazi manusia khususnya perempuan. Di sisi
lain, RUU ini ditentang dengan dalih bahwa isi atau materi dalam RUU KKG tidak
sejalan dengan semangat Pancasila dan Agama.
Menurut rekam
jejak dari beberapa narasumber terkait menyebutkan, sebelum di kembangkannya
rumusan tentang RUU KKG ini, sebenarnya hukum di Indonesia telah mengatur juga
tentang Pengarus Utamaan Gender (PUG) sebagai salah satu strategi untuk
mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Pasal ini ditetapkan melalui Inpres
Nomor 9 Tahun 2000 tentang PUG dalam Pembangunan Nasional. Sebagai tindak
lanjut, dikeluarkan Kepmendagri Nomor 132 Tahun 3003 tentang Pedoman Umum
Pelaksanaan Pengarus Utamaan Gender dalam Pembangunan daerah yang kemudian diperbaharui
dengan Permendagri Nomor 15 Tahun 2008.
Namun dalam
perkembangannya, hingga saat ini upaya PUG dalam pembangunan masih menunjukkan
kemajuan yang sangat lambat. Begitu juga dengan Instruksi Presiden Nomor 9
Tahun 2000 sebagai dasar hukum implementasi PUG tidak terdapat dalam tata
urutan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, dirasa penting untuk
mewujudkan sebuah Undang-Undang yang secara khusus mengatur mengenai Pengarus
Utamaan Gender, pada kontek ini adalah Rancangan Undang-Undang Keadilan dan
Kesetaraan Gender.
Dengan adanya RUU
KKG ini diharapkan akan menjadi payung hukum yang akan menguatkan kedudukan
perempuan setara dengan laki-laki, baik dalam pemanfaatan hasil pembangunan
maupun dalam memperoleh sikap positif dalam kehidupan bermasyarakat. RUU KKG
juga akan menjadi acuan hukum secara kompherensif yang yang menjamin
terlaksananya kehidupan kesetaraan gender dan menguatkan undang-undang dan
aturan hukum sebelumnya, seperti Undang-Undang Perkawinan 1/1974, Undang-Undang
PKDRT 23/2004 dan sebagainya. Namun semenjak di sosialisasikannnya RUU KKG oleh
DPR RI melalui acara hearing dengan berbagai lembaga dan organisasi
kemasyarakatan, rupanya kebijakan ini kurang disambut baik oleh beberapa elemen
masyarakat, termasuk diantaranya tokoh ulama dan akademisi.
Dalam perspektif
berbeda, salah seorang Doktor dari civitas akademik UIN Sunan Kalijaga melihat,
bahwa RUU KKG sejalan dengan konsep teologis yang diajarkan Islam. Dalam Al
Qur’an konsep ini disebut ad-Din al-Qayyim. Konsep ad-Din al-Qayyim dalam
Al Qur’an adalah rangka bangunan dalam doktrin Islam sebagai upaya untuk
mewujudkan kehidupan masyarakat yang syarat dengan rahmatan lil’alamain. Konsep
ini juga mengajarkan bagaimana seharusnya manusia menjalankan ajaran-ajaran
agama dalam penegakan keadilan bagi sesamanya di dunia dan akhirat. Dengan
demikian, indikator dari standar ad-Din al-Qayyim yaitu kesesuaiannya
dengan fitrah manusia. Konsep ini seyogyanya telah memenuhi standar sebagai
agama yang sesuai dengan fitrah dan kebutuhan manusia. Standar dengan indikator
ini merupakan satu keniscayaan untuk mewujudkan kehidupan bagi manusia yang
menghargai fitrahnya, yaitu kodrat sebagai manusia dan optimalisasi akan
potensinya.
Berdasarkan
pemikiran di atas, terlihat bahwa dalam RUU KKG sebenarnya tidak ada masalah
yang signifikan untuk dipersoalkan. Persoalan yang kerap bermunculan belakangan
dengan statement negatif tentang RUU KKG ini justru dikarenakan
kecurigaan yang tidak jelas. Mereka memandang RUU KKG ini sebagai wujud RUU
liberasi dunia. Pandangan ini tentu tidak benar. Karena dalam Islam sendiri
telah dijelaskan bahwa agama sebagai fitrah manusia mengajarkan tentang
kesuaian manusia sebagai makhluk sosial.
Penulis
beranggapan, secara yuridis teknik umum penyusunan RUU KKG telah mengacu pada
Undang-Undang No.10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan
perundang-undangan. Misalnya, kerangka sudah sesuai dengan lampiran UU
No.10/2004 yang terdiri dari (1) judul, (2) pembukaan yang memuat (a) Fase
dengan rahmat tuhan yang maha esa, (b) jabatan, Pembentuk Peraturan
Perundang-Undangan, (c) konsiderans, (d) dasar hukum, (e) diktum. Kemudian (3)
Batang tubuh yang berisi (a) ketentuan umum, (b) materi pokok yang diatur, (c)
ketentuan pidana (jika diperlukan), (d) ketentuan peralihan (jika diperlukan),
(e) ketentuan penutup. (4). Penutup, (5) Penjelasan, (6) Lampiran.
Atas dasar itu,
RUU KKG seharusnya bisa menyempurnakan dan mengisi kekurangan dari
Undang-Undang Perkawinann, Kompilasi Hukum Islam (KHI), UU PKDRT 23/2004,
khususnya dalam membela hak-hak perempuan. Hal itu dikarenakan dalam isi UU
tersebut masih didapati kekurangan dalam beberapa pasal yang dianggap masih
mengandung deskriminasi gender.
Berkaca pada
sejumlah RUU yang pernah dicoba diusung, sebelum RUU KKG ini disosialisasikan ke
tengah masyarakat, ada baiknya RUU KKG ini dibicarakan kembali dalam ruang yang
lebih terbuka. Selain melibatkan pemerintah dan lembaga-lembaga terkait,
sejumlah organisasi masyarakat dan masyarakat luaspun perlu diajak kompromi dan
diikut sertakan. Selama ini masyarakat hanya dianggap obyek dari setiap
permasalahan hukum. Maka tidak ada salahnya jika saat ini masyarakat turut
dilibatkan dengan melakukan uji publik. Terutama bagi laki-laki (suami) yang
mempunyai anggapan, bahwa dengan adanya RUU KKG ini akan menjadi masalah dalam
kehidupan mereka kelak, terkait dengan persoalan previlledge sebagai
laki-laki.
Fadhli Bull
0 Komentar Aje':
Posting Komentar