Jumat, 18 Mei 2012

Legalisasi RUU-KKG, Relevankah?


Sejak mencuatnya Rancangan Undang-Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG), publik mulai disibukkan dengan beragam sikap yang beragam. Berbagai kalangan beranggapan bahwa RUU KKG patut untuk diperjuangkan, karena secara universal RUU ini jelas mengusung tentang pemenuhan hak azazi manusia khususnya perempuan. Di sisi lain, RUU ini ditentang dengan dalih bahwa isi atau materi dalam RUU KKG tidak sejalan dengan semangat Pancasila dan Agama.

Menurut rekam jejak dari beberapa narasumber terkait menyebutkan, sebelum di kembangkannya rumusan tentang RUU KKG ini, sebenarnya hukum di Indonesia telah mengatur juga tentang Pengarus Utamaan Gender (PUG) sebagai salah satu strategi untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Pasal ini ditetapkan melalui Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang PUG dalam Pembangunan Nasional. Sebagai tindak lanjut, dikeluarkan Kepmendagri Nomor 132 Tahun 3003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarus Utamaan Gender dalam Pembangunan daerah yang kemudian diperbaharui dengan Permendagri Nomor 15 Tahun 2008.

Namun dalam perkembangannya, hingga saat ini upaya PUG dalam pembangunan masih menunjukkan kemajuan yang sangat lambat. Begitu juga dengan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 sebagai dasar hukum implementasi PUG tidak terdapat dalam tata urutan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, dirasa penting untuk mewujudkan sebuah Undang-Undang yang secara khusus mengatur mengenai Pengarus Utamaan Gender, pada kontek ini adalah Rancangan Undang-Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender.

Dengan adanya RUU KKG ini diharapkan akan menjadi payung hukum yang akan menguatkan kedudukan perempuan setara dengan laki-laki, baik dalam pemanfaatan hasil pembangunan maupun dalam memperoleh sikap positif dalam kehidupan bermasyarakat. RUU KKG juga akan menjadi acuan hukum secara kompherensif yang yang menjamin terlaksananya kehidupan kesetaraan gender dan menguatkan undang-undang dan aturan hukum sebelumnya, seperti Undang-Undang Perkawinan 1/1974, Undang-Undang PKDRT 23/2004 dan sebagainya. Namun semenjak di sosialisasikannnya RUU KKG oleh DPR RI melalui acara hearing dengan berbagai lembaga dan organisasi kemasyarakatan, rupanya kebijakan ini kurang disambut baik oleh beberapa elemen masyarakat, termasuk diantaranya tokoh ulama dan akademisi.

Dalam perspektif berbeda, salah seorang Doktor dari civitas akademik UIN Sunan Kalijaga melihat, bahwa RUU KKG sejalan dengan konsep teologis yang diajarkan Islam. Dalam Al Qur’an konsep ini disebut ad-Din al-Qayyim. Konsep ad-Din al-Qayyim dalam Al Qur’an adalah rangka bangunan dalam doktrin Islam sebagai upaya untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang syarat dengan rahmatan lil’alamain. Konsep ini juga mengajarkan bagaimana seharusnya manusia menjalankan ajaran-ajaran agama dalam penegakan keadilan bagi sesamanya di dunia dan akhirat. Dengan demikian, indikator dari standar ad-Din al-Qayyim yaitu kesesuaiannya dengan fitrah manusia. Konsep ini seyogyanya telah memenuhi standar sebagai agama yang sesuai dengan fitrah dan kebutuhan manusia. Standar dengan indikator ini merupakan satu keniscayaan untuk mewujudkan kehidupan bagi manusia yang menghargai fitrahnya, yaitu kodrat sebagai manusia dan optimalisasi akan potensinya.

Berdasarkan pemikiran di atas, terlihat bahwa dalam RUU KKG sebenarnya tidak ada masalah yang signifikan untuk dipersoalkan. Persoalan yang kerap bermunculan belakangan dengan statement negatif tentang RUU KKG ini justru dikarenakan kecurigaan yang tidak jelas. Mereka memandang RUU KKG ini sebagai wujud RUU liberasi dunia. Pandangan ini tentu tidak benar. Karena dalam Islam sendiri telah dijelaskan bahwa agama sebagai fitrah manusia mengajarkan tentang kesuaian manusia sebagai makhluk sosial.

Penulis beranggapan, secara yuridis teknik umum penyusunan RUU KKG telah mengacu pada Undang-Undang No.10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Misalnya, kerangka sudah sesuai dengan lampiran UU No.10/2004 yang terdiri dari (1) judul, (2) pembukaan yang memuat (a) Fase dengan rahmat tuhan yang maha esa, (b) jabatan, Pembentuk Peraturan Perundang-Undangan, (c) konsiderans, (d) dasar hukum, (e) diktum. Kemudian (3) Batang tubuh yang berisi (a) ketentuan umum, (b) materi pokok yang diatur, (c) ketentuan pidana (jika diperlukan), (d) ketentuan peralihan (jika diperlukan), (e) ketentuan penutup. (4). Penutup, (5) Penjelasan, (6) Lampiran.

Atas dasar itu, RUU KKG seharusnya bisa menyempurnakan dan mengisi kekurangan dari Undang-Undang Perkawinann, Kompilasi Hukum Islam (KHI), UU PKDRT 23/2004, khususnya dalam membela hak-hak perempuan. Hal itu dikarenakan dalam isi UU tersebut masih didapati kekurangan dalam beberapa pasal yang dianggap masih mengandung deskriminasi gender.

Berkaca pada sejumlah RUU yang pernah dicoba diusung, sebelum RUU KKG ini disosialisasikan ke tengah masyarakat, ada baiknya RUU KKG ini dibicarakan kembali dalam ruang yang lebih terbuka. Selain melibatkan pemerintah dan lembaga-lembaga terkait, sejumlah organisasi masyarakat dan masyarakat luaspun perlu diajak kompromi dan diikut sertakan. Selama ini masyarakat hanya dianggap obyek dari setiap permasalahan hukum. Maka tidak ada salahnya jika saat ini masyarakat turut dilibatkan dengan melakukan uji publik. Terutama bagi laki-laki (suami) yang mempunyai anggapan, bahwa dengan adanya RUU KKG ini akan menjadi masalah dalam kehidupan mereka kelak, terkait dengan persoalan previlledge sebagai laki-laki.

Fadhli Bull

0 Komentar Aje':

Posting Komentar