18.14
Saat menjabat sebagai khalifah, Umar bin Khattab
suatu kali berjalan-jalan menyusuri Madinah. Begitu sampai di suatu sudut kota, Khalifah Umar mendapati
suatu rumah yang beliau curigai sedang dipakai untuk bermaksiat. Sang Khalifah
ingin mengecek untuk memastikannya, tapi rumah itu tertutup rapat. Ahirnya
beliau memaksa masuk melalui atap. Dan benar saja, tuan rumah sedang asik
bermaksiat di rumahnya. Langsung saja Khalifah Umar menghentikankannya, dan
hendak menangkapnya. Anehnya, pemilik rumah justru tidak terima. Ia mengakui
memang telah berbuat dosa. Tapi menurutnya dosanya cuma satu. Sedangkan
perbuatan Umar yang masuk rumahnya lewat atap justru melanggar tiga perintah
Allah sekaligus. Yakni, mematai-matai (tajassus) yang jelas dilarang dalam
AlQur’an (Q49:12); masuk rumah orang lain tidak melalui pintu seperti yang
diserukan Qur’an (Q2: 189); dan tanpa mengucapkan salam, padahal Allah memerintahkannya
(Q24: 27).
Menyadari kesalahan tindakannya, Khalifah Umar
akhirnya melepaskan orang tersebut dan hanya menyuruhnya bertobat. Pelajaran
apa yang bisa kita petik dari cerita yang dikutip Imam Al-Ghazali dalam Ihya’
Ulum al-Din (II: 320) tersebut? Umar, dalam kapasitasnya sebagai kepala negara
saat itu, mestinya punya otoritas yang sah untuk mencegah kemunkaran yang
dilakukan salah seorang rakyatnya. Namun berhubung cara nahi munkar beliau
terbukti melanggar aturan Tuhan, pelaku maksiat tersebut akhirnya lolos. Moral
story: mencegah kemungkaran haruslah dijalankan dengan cara yang tidak munkar.
Kisah di atas kiranya relevan sekali untuk bahan
rujukan manakala kita berbicara tentang Front Pembela Islam (FPI) yang
senantiasa menempuh jalan kekerasan dalam aksi-aksinya. Dalam berbagai
kesempatan , Rizieq Shiha, pimpinan FPI, membenarkan vigilantisme kelompoknya
dengan dalih bahwa negara dan aparat peneguk hukum yang ada dianggap gagal atau
lembek dalam memberantas kemaksiatan. Akibatnya, kemaksiatan semakin
merajalela. Karena itulah ia dan organisasinya merasa sah untuk turun tangan.
Begitulah, dengan alasan menjalankan misi nahi munkar, ormas Islam radikal ini
merazia dan merusak kafe, hotel, dan kantong kebudayaan yang mereka tengarai
menjadi tempat kemaksiatan. Dengan alasan yang sama, mereka juga menyerang
kelompok keagamaan yang mereka tuduh sesat dan kafir.
Yang terakhir terjadi adalah penggerudukan FPI ke
Salihara untuk membubarkan diskusi pemikiran Irshad Manji, yang mereka tuduh
menghalalkan lesbianisme. Di mata FPI, tindak kekerasan mereka justru Islami
karena didasarkan pada hadits Nabi yang cukup populer tentang nahi munkar:
“Sesiapa melihat kemunkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangan. Jika tidak mampu, maka dengan lesan. Jika tidak mampu juga,
maka dalam hati. Yang terakhir itulah selemah-lemahnya iman.” Bagi FPI, jalan
kekerasan merupakan manifestasi dari pengamalan perintah Nabi untuk “mengubah
kemunkaran dengan tangan (falyughayyirhu biyadih),” yang mencerminkan keimanan
yang paling kuat dan tegas. Makanya tidak heran kalau dukungan terhadap FPI
juga muncul dari sejumlah kalangan Islam di luar FPI, dari ustadz sampai orang
awam. Tapi seberapa jauh alasan FPI bisa diterima dari sudut pandang Islam? Apakah
kemunkaran niscaya identik dengan kemaksiatan seperti digambarkan FPI? Apakah
cara main hakim sendiri dengan dalih nahi munkar bisa dibenarkan? Dan di atas
semua itu, apakah klaim FPI sebagai agen penegak nahy munkar bisa dibenarkan
dari perspektif doktrin dan sejarah Islam? FPI mengartikan kemunkaran sebagai
identik dengan kemaksiatan. Tapi benarkah demikian?
Dari kisah
Umar bin Khattab di awal tulisan, kita bisa menyimpulkan bahwa kalau ada orang
bermaksiat di rumah sendiri secara tertutup dan tersembunyi dari mata publik,
maka perbuatannya sama sekali bukan menjadi urusan publik. Negara, masyarakat,
ataupun individu lain tidak punya hak untuk mengintervensi rumah seseorang. Bahkan
memata-matai, mengintai, atau menelisiknya saja tidak dibenarkan. Dengan kata
lain, kemaksiatan yang tidak kelihatan oleh tatapan publik tetaplah
kemaksiatan, tapi tidak bisa diinvasi orang lain dengan dalih nahy munkar. Apa
yang terjadi di dalam ruang privat yang tertutup sepenuhnya menjadi urusan si
pelaku dengan Tuhan. Kalaupun ia bermaksiat, ia sendiri yang menanggung
dosanya. Hal itu karena apa yang disebut munkar bertaut erat dengan kepublikan.
Di sini saya
sepakat dengan pendapat Dr. Moch Nur Ichwan, M.A (Dosen UIN sunan Kalijaga-Yogyakarta)
dalam artikelnya tentang amar ma’ruf dan nahy munkar yang dimuat dalam Dinamika
Kebudayaan dan Problem Kebangsaan: Kado 60 Tahun Musa Asy’arie (2011). Di situ
dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini memaknai amar ma’ruf dan nahy munkar
sebagai etika sosial atau etika publik. Ia menjelaskan, term ma’ruf dan munkar
sebenarnya sudah ada sebelum Islam, dan erat kaitannya dengan urf (adat
kebiasaan yang baik) yang terbentuk berdasarkan kearifan budaya setempat (local
wisdom). Ketika diserap oleh Islam, kedua term tersebut mengalami transformasi
menjadi etika Islami yang spiritnya dibimbing oleh wahyu, dan pada pada saat
yang sama mengacu pada kebaikan dan keburukan yang diketahui melalui akal sehat
dan kearifan kemanusiaan pada suatu masa dan waktu tertentu.
Singkatnya,
amar ma’ruf nahy munkar dalam pandangan Nur Ichwan berporos pada perjuangan
nilai-nilai bersama demi kemaslahatan bersama, sedangkan nahy munkar adalah
eliminasi dosa-dosa sosial yang mengancam kemaslahatan publik. Dimensi
kemaslahatan publik inilah yang dalam kenyataannya diabaikan oleh FPI dalam
aksi-aksinye memberantas kemunkaran. Seberapa jauh ormas partikelir seperti FPI
punya lisensi untuk mengangkat diri sendiri sebagai eksekutor nahy munkar? Hadits
yang saya kutip di atas memang memberi kesan bahwa mengubah kemunkaran adalah
kewajiban setiap muslim. Dari sinilah barangkali FPI merasa bahwa kekerasan
adalah bagian dari upaya menjalankan misi mengubah kemunkaran “dengan tangan”.
Tapi
masalahnya, kalau setiap orang merasa punya wewenang untuk mengubah kemunkaran
“dengan tangan,” maka yang kemudian terjadi adalah menjamurnya ormas Islam,
semua dengan bendera nahi munkar, tapi masing-masing punya agendanya sendiri,
dengan disokong laskarnya sendiri. Situasi seperti ini pada gilirannya bisa
mengancam ketertiban umum dan memicu kekacauan politik dan anarki dalam
masyarakat, suatu situasi yang justru dianggap momok paling mengerikan
sepanjang sejarah politik masyarakat muslim. Kita ingat ungkapan terkenal
Al-Mawardi, pemikir politik Islam klasik: “seribu tahun di bawah tirani lebih
baik dari sehari dalam anarki.” Atas dasar itulah maka penegakan nahy munkar
sepanjang sejarah dinasti-dinasti Islam tidak dipercayakan pada orang perorang
atau kelompok swasta, melainkan menjadi wilayah kekuasaan negara. Dengan kata
lain, lembaga nahy munkar adalah lembaga publik. Asumsinya, karena amar ma’ruf
nahy munkar berporos pada kemaslahatan publik, maka aneh kalau penanganannya
diserahkan kepada pihak swasta. Lembaga publik ini lazim dikenal wilayatul
hisbah.
Di sini saya
perlu buru-buru menambahkan bahwa saya bukannya menyetujui keberadaan wilayatul
hisbah dihidupkan lagi. Saya berpendapat bahwa pembentukan wilayatul hisbah
sebagai polisi syari’ah seperti yang terjadi di Aceh adalah sebentuk salah
kaprah dalam penerapan syari’ah. Perlu diketahui, wilayatul hisbah bukanlah
institusi yang secara otentik lahir dari rahim Islam. Lembaga tersebut baru
terbentuk pada masa dinasti Abbasiyah, sebagai hasil dari adopsi lembaga
pengontrol pasar yang sudah berkembang lebih dulu di Yunani Kuna, yang bernama
agoranomos. Dan memang wilayatul hisbah pada awalnya bukanlah polisi syari’ah
dalam artinya yang kita kenal sekarang. Tugas utamanya pada mulanya lebih untuk
mengontrol pasar agar transaksi ekonomi di situ berlangsung secara fair dan
adil. Tapi lama-lama tugas lembaga ini meluas, mencakup kontrol atas perilaku
dan moralitas di tempat publik.
Pada masa
dinasti-dinasti Islam, keberadaan wilayatul hisbah sebagai agen nahy munkar
boleh jadi merefleksikan aspirasi publiknya, yang memang homogen. Tapi untuk
diterapkan dalam konteks saat ini, wilayatul hisbah malah mencederai aspirasi
publiknya, yang cenderung heterogen. Tapi lepas dari itu, poin yang ingin saya
tekankan adalah bahwa lembaga nahy munkar adalah lembaga publik, yang dibentuk
dan diresmikan oleh negara. Ini berarti, pengertian mengubah dengan “tangan”
mestinya diartikan sebagai “kekuasaan.” Dengan demikian, klaim FPI sebagai
lembaga nahy munkar sebenarnya tidak punya dasar yang kukuh ditinjau dari
perspektif sejarah Islam. dalam konteks Indonesia, saya malah cenderung
menganggap bahwa lembaga nahy munkar yang sah bukanlah FPI melainkan lembaga
semacam KPK. Hal lain yang juga bermasalah pada FPI adalah kecenderungannya
untuk selalu menghalalkan kekerasan dalam aksi-aksi mereka.
Ditinjau dari
sudut pandang hukum Islam, tindakan semacam itu sama sekali tak bisa
dibenarkan. Dalam al-qawa’id a-fiqhiyah (legal maxims), terdapat kaidah yang
menyatakan: al-dlararu yuzalu (kemudaratan mesti dihilangkan). Tapi ada juga
kaidah lain yang berbunyi: al-dlarar la yuzal bi al-darar (kemudaratan tak
boleh dihilangkan dengan kemudaratan yang lain). Dan patut diingat, dua kaidah
tersebut mesti dipahami sebagai satu kesatuan. Dengan bersandar pada dalil di
atas, kita bisa mengatakan bahwa kemunkaran mesti dihilangkan karena kemunkaran
adalah bagian dari kemudaratan. Tapi pada saat yang sama, kemunkaran tidak
boleh dihilangkan dengan kemunkaran yang lain. Artinya bisa bercabang dua:
kemunkaran tidak bisa dihilangkan dengan cara yang munkar; dan juga, kemunkaran
tidak bisa dihilangkan dengan cara yang justru melahirkan kemungkaran baru. Dengan
menghalalkan kekerasan, FPI sejatinya mengidap dua jenis kemungkaran sekaligus:
memakai cara yang mungkar, yakni kekerasan dan main hakim sendiri; yang kedua:
memunculkan kemungkaran baru, yang bisa jadi lebih parah (keresahan dan anarki
sosial). Jadi, kalau kita punya komitmen serius untuk menegakkan nahy munkar di
negeri ini, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah memberantas kemungkaran
FPI.
* Ali Usman -Yogyakarta
0 Komentar Aje':
Posting Komentar