Sabtu, 19 Mei 2012

Model Nahi Mungkar yang Mungkar

Saat menjabat sebagai khalifah, Umar bin Khattab suatu kali berjalan-jalan menyusuri Madinah. Begitu sampai di suatu sudut kota, Khalifah Umar mendapati suatu rumah yang beliau curigai sedang dipakai untuk bermaksiat. Sang Khalifah ingin mengecek untuk memastikannya, tapi rumah itu tertutup rapat. Ahirnya beliau memaksa masuk melalui atap. Dan benar saja, tuan rumah sedang asik bermaksiat di rumahnya. Langsung saja Khalifah Umar menghentikankannya, dan hendak menangkapnya. Anehnya, pemilik rumah justru tidak terima. Ia mengakui memang telah berbuat dosa. Tapi menurutnya dosanya cuma satu. Sedangkan perbuatan Umar yang masuk rumahnya lewat atap justru melanggar tiga perintah Allah sekaligus. Yakni, mematai-matai (tajassus) yang jelas dilarang dalam AlQur’an (Q49:12); masuk rumah orang lain tidak melalui pintu seperti yang diserukan Qur’an (Q2: 189); dan tanpa mengucapkan salam, padahal Allah memerintahkannya (Q24: 27).
Menyadari kesalahan tindakannya, Khalifah Umar akhirnya melepaskan orang tersebut dan hanya menyuruhnya bertobat. Pelajaran apa yang bisa kita petik dari cerita yang dikutip Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din (II: 320) tersebut? Umar, dalam kapasitasnya sebagai kepala negara saat itu, mestinya punya otoritas yang sah untuk mencegah kemunkaran yang dilakukan salah seorang rakyatnya. Namun berhubung cara nahi munkar beliau terbukti melanggar aturan Tuhan, pelaku maksiat tersebut akhirnya lolos. Moral story: mencegah kemungkaran haruslah dijalankan dengan cara yang tidak munkar.
Kisah di atas kiranya relevan sekali untuk bahan rujukan manakala kita berbicara tentang Front Pembela Islam (FPI) yang senantiasa menempuh jalan kekerasan dalam aksi-aksinya. Dalam berbagai kesempatan , Rizieq Shiha, pimpinan FPI, membenarkan vigilantisme kelompoknya dengan dalih bahwa negara dan aparat peneguk hukum yang ada dianggap gagal atau lembek dalam memberantas kemaksiatan. Akibatnya, kemaksiatan semakin merajalela. Karena itulah ia dan organisasinya merasa sah untuk turun tangan. Begitulah, dengan alasan menjalankan misi nahi munkar, ormas Islam radikal ini merazia dan merusak kafe, hotel, dan kantong kebudayaan yang mereka tengarai menjadi tempat kemaksiatan. Dengan alasan yang sama, mereka juga menyerang kelompok keagamaan yang mereka tuduh sesat dan kafir.
Yang terakhir terjadi adalah penggerudukan FPI ke Salihara untuk membubarkan diskusi pemikiran Irshad Manji, yang mereka tuduh menghalalkan lesbianisme. Di mata FPI, tindak kekerasan mereka justru Islami karena didasarkan pada hadits Nabi yang cukup populer tentang nahi munkar: “Sesiapa melihat kemunkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangan. Jika tidak mampu, maka dengan lesan. Jika tidak mampu juga, maka dalam hati. Yang terakhir itulah selemah-lemahnya iman.” Bagi FPI, jalan kekerasan merupakan manifestasi dari pengamalan perintah Nabi untuk “mengubah kemunkaran dengan tangan (falyughayyirhu biyadih),” yang mencerminkan keimanan yang paling kuat dan tegas. Makanya tidak heran kalau dukungan terhadap FPI juga muncul dari sejumlah kalangan Islam di luar FPI, dari ustadz sampai orang awam. Tapi seberapa jauh alasan FPI bisa diterima dari sudut pandang Islam? Apakah kemunkaran niscaya identik dengan kemaksiatan seperti digambarkan FPI? Apakah cara main hakim sendiri dengan dalih nahi munkar bisa dibenarkan? Dan di atas semua itu, apakah klaim FPI sebagai agen penegak nahy munkar bisa dibenarkan dari perspektif doktrin dan sejarah Islam? FPI mengartikan kemunkaran sebagai identik dengan kemaksiatan. Tapi benarkah demikian?
Dari kisah Umar bin Khattab di awal tulisan, kita bisa menyimpulkan bahwa kalau ada orang bermaksiat di rumah sendiri secara tertutup dan tersembunyi dari mata publik, maka perbuatannya sama sekali bukan menjadi urusan publik. Negara, masyarakat, ataupun individu lain tidak punya hak untuk mengintervensi rumah seseorang. Bahkan memata-matai, mengintai, atau menelisiknya saja tidak dibenarkan. Dengan kata lain, kemaksiatan yang tidak kelihatan oleh tatapan publik tetaplah kemaksiatan, tapi tidak bisa diinvasi orang lain dengan dalih nahy munkar. Apa yang terjadi di dalam ruang privat yang tertutup sepenuhnya menjadi urusan si pelaku dengan Tuhan. Kalaupun ia bermaksiat, ia sendiri yang menanggung dosanya. Hal itu karena apa yang disebut munkar bertaut erat dengan kepublikan.
Di sini saya sepakat dengan pendapat Dr. Moch Nur Ichwan, M.A (Dosen UIN sunan Kalijaga-Yogyakarta) dalam artikelnya tentang amar ma’ruf dan nahy munkar yang dimuat dalam Dinamika Kebudayaan dan Problem Kebangsaan: Kado 60 Tahun Musa Asy’arie (2011). Di situ dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini memaknai amar ma’ruf dan nahy munkar sebagai etika sosial atau etika publik. Ia menjelaskan, term ma’ruf dan munkar sebenarnya sudah ada sebelum Islam, dan erat kaitannya dengan urf (adat kebiasaan yang baik) yang terbentuk berdasarkan kearifan budaya setempat (local wisdom). Ketika diserap oleh Islam, kedua term tersebut mengalami transformasi menjadi etika Islami yang spiritnya dibimbing oleh wahyu, dan pada pada saat yang sama mengacu pada kebaikan dan keburukan yang diketahui melalui akal sehat dan kearifan kemanusiaan pada suatu masa dan waktu tertentu.
Singkatnya, amar ma’ruf nahy munkar dalam pandangan Nur Ichwan berporos pada perjuangan nilai-nilai bersama demi kemaslahatan bersama, sedangkan nahy munkar adalah eliminasi dosa-dosa sosial yang mengancam kemaslahatan publik. Dimensi kemaslahatan publik inilah yang dalam kenyataannya diabaikan oleh FPI dalam aksi-aksinye memberantas kemunkaran. Seberapa jauh ormas partikelir seperti FPI punya lisensi untuk mengangkat diri sendiri sebagai eksekutor nahy munkar? Hadits yang saya kutip di atas memang memberi kesan bahwa mengubah kemunkaran adalah kewajiban setiap muslim. Dari sinilah barangkali FPI merasa bahwa kekerasan adalah bagian dari upaya menjalankan misi mengubah kemunkaran “dengan tangan”.
Tapi masalahnya, kalau setiap orang merasa punya wewenang untuk mengubah kemunkaran “dengan tangan,” maka yang kemudian terjadi adalah menjamurnya ormas Islam, semua dengan bendera nahi munkar, tapi masing-masing punya agendanya sendiri, dengan disokong laskarnya sendiri. Situasi seperti ini pada gilirannya bisa mengancam ketertiban umum dan memicu kekacauan politik dan anarki dalam masyarakat, suatu situasi yang justru dianggap momok paling mengerikan sepanjang sejarah politik masyarakat muslim. Kita ingat ungkapan terkenal Al-Mawardi, pemikir politik Islam klasik: “seribu tahun di bawah tirani lebih baik dari sehari dalam anarki.” Atas dasar itulah maka penegakan nahy munkar sepanjang sejarah dinasti-dinasti Islam tidak dipercayakan pada orang perorang atau kelompok swasta, melainkan menjadi wilayah kekuasaan negara. Dengan kata lain, lembaga nahy munkar adalah lembaga publik. Asumsinya, karena amar ma’ruf nahy munkar berporos pada kemaslahatan publik, maka aneh kalau penanganannya diserahkan kepada pihak swasta. Lembaga publik ini lazim dikenal wilayatul hisbah.
Di sini saya perlu buru-buru menambahkan bahwa saya bukannya menyetujui keberadaan wilayatul hisbah dihidupkan lagi. Saya berpendapat bahwa pembentukan wilayatul hisbah sebagai polisi syari’ah seperti yang terjadi di Aceh adalah sebentuk salah kaprah dalam penerapan syari’ah. Perlu diketahui, wilayatul hisbah bukanlah institusi yang secara otentik lahir dari rahim Islam. Lembaga tersebut baru terbentuk pada masa dinasti Abbasiyah, sebagai hasil dari adopsi lembaga pengontrol pasar yang sudah berkembang lebih dulu di Yunani Kuna, yang bernama agoranomos. Dan memang wilayatul hisbah pada awalnya bukanlah polisi syari’ah dalam artinya yang kita kenal sekarang. Tugas utamanya pada mulanya lebih untuk mengontrol pasar agar transaksi ekonomi di situ berlangsung secara fair dan adil. Tapi lama-lama tugas lembaga ini meluas, mencakup kontrol atas perilaku dan moralitas di tempat publik.
Pada masa dinasti-dinasti Islam, keberadaan wilayatul hisbah sebagai agen nahy munkar boleh jadi merefleksikan aspirasi publiknya, yang memang homogen. Tapi untuk diterapkan dalam konteks saat ini, wilayatul hisbah malah mencederai aspirasi publiknya, yang cenderung heterogen. Tapi lepas dari itu, poin yang ingin saya tekankan adalah bahwa lembaga nahy munkar adalah lembaga publik, yang dibentuk dan diresmikan oleh negara. Ini berarti, pengertian mengubah dengan “tangan” mestinya diartikan sebagai “kekuasaan.” Dengan demikian, klaim FPI sebagai lembaga nahy munkar sebenarnya tidak punya dasar yang kukuh ditinjau dari perspektif sejarah Islam. dalam konteks Indonesia, saya malah cenderung menganggap bahwa lembaga nahy munkar yang sah bukanlah FPI melainkan lembaga semacam KPK. Hal lain yang juga bermasalah pada FPI adalah kecenderungannya untuk selalu menghalalkan kekerasan dalam aksi-aksi mereka.
Ditinjau dari sudut pandang hukum Islam, tindakan semacam itu sama sekali tak bisa dibenarkan. Dalam al-qawa’id a-fiqhiyah (legal maxims), terdapat kaidah yang menyatakan: al-dlararu yuzalu (kemudaratan mesti dihilangkan). Tapi ada juga kaidah lain yang berbunyi: al-dlarar la yuzal bi al-darar (kemudaratan tak boleh dihilangkan dengan kemudaratan yang lain). Dan patut diingat, dua kaidah tersebut mesti dipahami sebagai satu kesatuan. Dengan bersandar pada dalil di atas, kita bisa mengatakan bahwa kemunkaran mesti dihilangkan karena kemunkaran adalah bagian dari kemudaratan. Tapi pada saat yang sama, kemunkaran tidak boleh dihilangkan dengan kemunkaran yang lain. Artinya bisa bercabang dua: kemunkaran tidak bisa dihilangkan dengan cara yang munkar; dan juga, kemunkaran tidak bisa dihilangkan dengan cara yang justru melahirkan kemungkaran baru. Dengan menghalalkan kekerasan, FPI sejatinya mengidap dua jenis kemungkaran sekaligus: memakai cara yang mungkar, yakni kekerasan dan main hakim sendiri; yang kedua: memunculkan kemungkaran baru, yang bisa jadi lebih parah (keresahan dan anarki sosial). Jadi, kalau kita punya komitmen serius untuk menegakkan nahy munkar di negeri ini, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah memberantas kemungkaran FPI.
* Ali Usman -Yogyakarta

0 Komentar Aje':

Posting Komentar