Menjelang abad duapuluh
satu, dunia mengalami sebuah era pos-
otoritarianisme. Sebuah era keruntuhan penguasa otoriter dunia,
sekaligus lahirnya model-model otoritarianisme baru. Di Indonesia sendiri, pada satu sisi,
tumbangnya
Soeharto
justru memunculkan kekuatan radikal
Islam yang
menampakkan
diri
dengan
wajah
kekerasan.
Ada
yang bertopeng
lokal,
seperti
Front
Pembela
Islam;
ada
yang bermasker
transnasional, seperti jaringan al Qaeda di Indonesia.
Jaringan al Qaeda di Indonesia ini telah melakukan
serangkaian aksi pemboman, baik bom Bali I, bom Bali II, bom Kuningan, bom J.W. Marriot II, dan bom-bom lain. Sebagian besar pelaku
telah ditangkap. Ada yang sedang
disidang, divonis penjara, atau dieksekusi mati. Beberapa pelaku bahkan ditembak
di
tempat,
karena
melakukan
perlawanan saat terjadi penangkapan. Yang menarik, mereka yang ditangkap, dan dinyatakan
pelaku
maupun
pembantu pemboman, semua
berjenis kelamin laki-laki.
Penangkapan Noordin
M.
Top adalah sesuatu yang unik. Ada dugaan bahwa, ketika
pergi
ke
luar
rumah,
Noordin
selalu
memakai
pakaian berjubah,
bercadar, seperti halnya perempuan.
Saat pergi di sekitar Gading, Solo, polisi
telah
mencurigai
gerak-gerik
Noordin,
dan
dibuntuti dari kejauhan, sampai berada di rumah. Setelah dipastikan
bahwa
dia benar-benar Noordin, barulah terjadi aksi penangkapan, yang
menewaskan Noordin M. Top di daerah Mojosongo, Solo, tersebut.
Apakah berpakaian laiknya perempuan memungkinkan Noordin M. Top bergerak
lebih leluasa? Pertanyaan ini memunculkan spekulasi lain, apabila gerak dan pola terorisme di Indonesia
telah
terbaca oleh aparat keamanan, apakah
jaringan teroris di Indonesia
akan
merekrut
perempuan untuk melaksanakan bom bunuh diri?
Tulisan ini bermaksud menjawab pertanyaan tersebut. Bagian pertama tulisan
ini berisi uraian tentang posisi
perempuan dalam ranah
radikal Islam. Bagian
pertama ini lebih banyak mengandalkan catatan harian Paridah (2005),
istri Mukhlas, pelaku bom Bali. Bagian kedua menganalisis justi"kasi
jihad perempuan di masa sekarang dan zaman Nabi Muhammad. Terakhir, memberikan analisis kemungkinan kemunculan
terorisme di Indonesia.
Rahim Para Syuhada’
Paridah sebelumnya hanya gadis biasa. Ia
tamatan
sekolah setingkat menengah
atas.
Suka
berdiskusi, terutama masalah
agama.
Gemar membaca, dan
telah
menamatkan novel Gadis Pantai
karya Pramoedya Ananta Toer. Ke’biasa’an Paridah pudar setelah
d!odohkan oleh sang ayah. Paridah sebenarnya tak mau. Karena kalah debat dengan ayahnya, Paridah
takluk. Ayahnya hanya
menyodorkan dalil agama, dan Paridah tak bisa membantah ketika ayahnya memilih
Ali Ghufron, yang
dikenal dengan Mukhlas, sebagai pendamping Paridah (Paridah, 2005).
Mukhlas adalah mantan pejuang Afghanistan. Tak hanya senjata,
ilmu agama
ia
kuasai.
Setelah
menikah,
Mukhlas
meng-upgrade
sang
istri. Hampir sebulan Mukhlas
mendoktrin sang istri. Proses indoktrinasi begitu ketat. Al Qur ’an
dan
Hadits
berikut pemahamannya diajarkan.
Begitu pula, hal-hal yang menyangkut
teknis, seperti masalah
suami yang bisa dan
tidak boleh diketahui oleh
sang istri (Paridah, 2005).
Eksklusivitas ini yang
membuat Paridah
tak
selalu
mengetahui
semua
urusan
sang
suami.
Paridah kaget,
ketika mengetahui Mukhlas
terlibat aksi pengeboman di
Indonesia. Ia
pun
tergagap, ketika
anak-anaknya bertanya, “Kapan Abi pulang?”
Selama ini, yang Paridah tahu, Mukhlas
adalah bapak tauladan. Anak-anaknya pun menganggap demikian. Asma’a, anak sulung
mereka, berpuisi,
“Ayah/ kini kau tiada
di sisiku/ Tetapi tetap ada di hatiku/ Namamu akan kukenang/ Senyummu selalu
terbayang di mataku/ Wajahmu selalu
terbayang
di
ingatanku//
Ayah/
Aku bangga menjadi anakmu/ ANAK SEORANG
TERORIS// (Paridah, 2005: 36).
Ketika Mukhlas menjalani persidangan, Paridah yang
berkewarganegaraan Malaysia harus
ke
Indonesia. Banyak masalah kemudian muncul.
Dari
masalah
kepengurusan imigrasi, rumah kontrakan, makan
sehari-hari
dan
kelahiran
anak
yang baru.
Paridah yang
sedang
hamil
setelah
menemui
suaminya harus bolak-balik ke persidangan menjadi saksi. Belum lagi kesedihan Paridah saat mendengar
keputusan hukuman mati bagi Mukhlas (Paridah, 2005).
Paridah adalah
satu
dari
banyak
penganut
radikal
Islam.
Pada umumnya,
ibu dalam rumah tangga radikal Islam
berperan sebagai
produsen sekaligus pendidik anak-anak
agar
kelak
menjadi pejuang
(syuhada). Seperti
halnya Paridah,
pola
pengasuhan
dan
pemeliharaan
disesuaikan dengan apa yang telah diajarkan oleh sang suami.
Anak-anak didik sedemikian rupa sehingga mereka siap berjuang di medan perang.
Di sini,
peranan
ibu begitu
penting
dalam
pembentukan kepribadian
sang anak. Harapan sang ibu biasanya dilekatkan pada nama sang anak. Si bungsu Paridah, misalnya, dinamai
dengan Osama. Kelak
ketika tumbuh dewasa, sang anak bisa seperti
Osama bin Laden. Hal ini sebagaimana
dilakukan oleh ibu-ibu radikal Islam lain, seperti
Rehima, istri seorang petinggi Jamaat-i-Islami Pakistan
(terjemahan bebas penulis).
Kunamai putraku Osama agar kelak ia menjadi mujahid. Meskipun
saat ini perang telah berkecamuk, namun ia masih kecil. Ku akan
persiapkan ia untuk perang berikutnya. Atas nama Allah, ku akan korbankan dia, tak peduli
ia anak kesayanganku. Kuingin
keenam anak lelakiku menjadi mujahid. Kalaulah mereka terbunuh, itu tak apa. Hidup di dunia ini sangat singkat.
Kusendiri ingin pula menjadi mujahid. … Jihad adalah saat kau diserang, kau menyerang balik. Ini
kehendak Allah. Kami
tak
gentar. Kutelah
mohon kepada suamiku agar di!inkan pergi ke Kashmir
dan mengikuti latihan perang.
Ku
akan
lemparkan
bom
bersama
tubuhku. (Cunningham 2005: 94).
Pernyataan Rehima di atas
penting.
Kelihatannya, Osama telah menjadi idola bagi
para perempuan radikal
Islam, paling tidak bagi
Rehima dan Paridah. Politik idol sangat berbahaya dalam
hal pembentukan karakter anak, karena sang anak tidak memiliki kebebasan dan cita-cita akibat harapan mereka dikonstruk agar menjadi seperti Osama. Bahaya lain
adalah klaim kebenaran; fatwa Osama pasti akan dituruti, meskipun hal tersebut mengandung sebuah kejahatan.
Konstruksi
ini
akan
lebih berbahaya
lagi
karena
proyeksi dalil langsung kepada Tuhan yang
membuat argumen seakan-akan tidak terbantah dan harus dilaksanakan
dengan sepenuh hati.
Para ibu, dan perempuan radikal Islam
pada
umumnya, juga
memiliki tugas menghasung para kerabat lelaki dan suami-suami mereka untuk ikut berperang. Lebih dari sekadar hasungan, para
perempuan
wajib pula
menyiapkan persedian logistik peperangan mereka. Persediaan
ini bukan hanya berupa materiil,
tetapi juga mental agar mereka memiliki keberanian untuk berperang. Para perempuan akan mengingatkan mereka atas pahala yang akan diperoleh orang yang mati di medan perang,
yaitu 72 bidadari, yang salah satunya adalah sang istri mereka sendiri. Karakter lain
Islam
radikal
adalah
eksklusif.
Karena
memiliki tugas sebagai
pendidik
dan
pembentuk karakter anak, ibu-ibu
dan
perempuan Islam radikal
lebih berperan di dalam sektor domestik, atau lebih tepatnya di rumah. Oleh karena inilah mereka jarang sekali bergaul dengan para tetangga.
Kalau
pun
ingin
ke
luar
rumah,
mereka
wajib
mengenakan jubah dan cadar berwarna gelap, sebagai pemati
hasrat laki- laki yang meliriknya (Shidqi, 2008: 17).
Martir
Perempuan
Di Indonesia, agaknya pola gerakan
para teroris
telah terbaca.
Gembong-gembong terorisme telah tertangkap. Beberapa di antaranya ada yang dieksekusi
mati. Meskipun muncul jaringan baru
di beberapa
daerah, seperti akhir-akhir ini di Aceh atau Klaten, pihak aparat tetap saja mampu
mengenali modus operasional terorisme tersebut. Hal ini tentu mempersempit
gerak para teroris di Indonesia. Jika para teroris, yang notabene
laki-laki, tidak bisa
bergerak lagi,
apakah mungkin
muncul pola
operasional baru yang melibatkan
perempuan sebagai pelaku bom bunuh diri?
Dari analisis peran
perempuan radikal Islam
di atas, agaknya tidak mungkin perempuan dilibatkan dalam tindak bom bunuh diri. Namun, mempertimbangkan konstelasi pola radikal
Islam,
hal
itu
mungkin.
Jaringan radikal
Islam
di
Indonesia, khususnya jaringan
terorisme, memiliki keterkaitan
kuat
dengan
jaringan al Qaeda di Afghanistan. Keterkaitan ini bisa dilihat dari kesamaan ajaran. Dari sisi ajaran, sebut
saja Imam Samudra
(2004:
64),
sering
mengutip
pendapat
Abdullah Azam, gembong al Qaeda di Afghanistan, sebagai penguat
dalil jihadnya. Imam
Samudra sendiri adalah pelaku bom Bali I, teman Mukhlas, yang
juga dieksekusi mati.
Pada konstelasi global, jaringan al
Qaeda
telah
merekrut perempuan sebagai pelaku bom bunuh
diri.
Ashraq al Awsat,
sebuah koran Arab Saudi,
pada
Maret
2003,
melakukan
sebuah wawancara dengan Umm Osama, seorang
tokoh al Qaeda perempuan. Umm Osama
menyatakan (Nes, 2008: 20-21):
Kami telah mempersiapkan pola baru atas instruksi pemimpin kami. Dengan
pola
baru ini, kami yakin
Amerika
akan
lebih mengingatnya daripada penyerangan 11
September.
Ide ini muncul dari
operasi
sukses
martir
perempuan
muda
Palestina di sebuah daerah sulit-jangkau musuh. Organisasi kami terbuka bagi seluruh
perempuan muslim yang ingin mengukuhkan negara Islam, khususnya dalam fase
paling kritis ini.
Umm Osama menambahkan bahwa jaringan
ini
telah
merekrut
para perempuan
pemberani dari seluruh dunia untuk
diterjunkan ke Afghanistan, Arab atau Chechnya. Mereka dimobilisasi
melalui internet. Para pejuang perempuan yang dilatih
ini diharapkan mampu
berjuang seperti halnya
para
perempuan
pelaku
bom bunuh
diri
di
Chechnya maupun Palestina (Von Knop,
2007: 404).
Khava Barayeva dan Luisa Magomodova merupakan dua pelaku
perempuan perdana bom bunuh diri di Chechnya. Tindakan
ini dilakukan pada tanggal 7 Juni 2000. Luisa Magomodova menabrakkan sebuah truk bermuatan penuh
peledak ke pasukan
elit Rusia di desa Alkhan
Yurt. Tidak seperti daerah kon#ik lain, perempuan
lebih mendominasi tindakan teror di
Chechnya. Untuk tindak bom bunuh diri dari tahun 2000 sampai Maret 2007, 46 dari 110 pelaku
adalah perempuan (Speckhard dan Akhmedova, 2005: 100).
Ada beberapa pola penyerangan
bom bunuh
diri
di
Chechnya. Melilitkan bom di tubuh dan detonator
di tangan merupakan
pola yang sering digunakan. Pola ini menggunakan lebih dari satu pelaku. Pola lain meliputi peledakan diri
di
sebuah tempat selain kawasan ramai, peledakan dengan mengendarai
truk atau mobil, peledakan diri di
pusat keramaian, peledakan diri
di
kereta
dan
kapal
terbang, dan
peledakan
melalui tas berisi bom yang seringkali
gagal karena terdeksi lebih awal. Separuh dari pelaku
adalah
perempuan
berstatus lajang,
kemudian
janda, dan yang terendah adalah masih memiliki
suami. Dari 64 orang
yang berhasil diwawancari,
48 orang memiliki !azah setingkat sekolah menengah atas
(Speckhard dan Akhmedova, 2005: 104—108).
Sampai Maret 2010,
tindak
bom bunuh
diri
masih
terjadi di Moskow, sebagai
daerah
sasaran
militan
Chechnya. Pada
akhir
Maret
tahun yang
sama,
dua
perempuan
berhasil meledakkan diri di dua
stasiun kereta di Moskow. Yang pertama meledakkan diri di Lubyanka stasiun, menewaskan 24 orang. Yang kedua, meledakkan diri di stasiun Park Kultury yang menewaskan 13 orang. Keduanya terjadi pada waktu
pagi hari yang padat (Roggio, 2010).
BombunuhdiridiChechnyalebihbermotiftindakmempertahankan tanah air. Keterlibatan al Qaeda dalam tindakan ini telah
terjadi sejak
tahun 1990-an. Namun, sekitar tahun 2000-an, tindak mempertahankan
ini beralihrupa menjadi upaya
menegakkan
negara
Islam.
Hasilnya, November 2007, Doku Umarov,
tokoh
Chechnya yang
juga aktif di al Qaeda, mendeklarasikan Emirate
Islam
sekaligus
menobatkan dirinya
sebagai penanggungjawab
(amir)
di
Semenanjung Eks Soviet (Roggio, 2010). Alihrupa ini merupakan
upaya untuk mencari dukungan umat Islam dunia agar membantu
perjuangan rakyat Chechnya.
Seperti halnya Chechnya,
rakyat Palestina berperang demi mempertahankan tanah airnya. Ada dua fase perang di Palestina. Fase pertama adalah intifada I (1987—1993), dan fase kedua intifada II (2000— sekarang). Sesuai dengan struktur
sosial di Palestina, orang-orang yang berperang
umumnya laki-laki.
Meskipun begitu, para perempuan
tidak tinggal diam. Mereka telah melakukan
demonstrasi-demonstrasi
pada
intifada I, dan mulai
melakukan tindak bom bunuh diri pada intifada II (Berko dan Erez, 2005: 146).
Secara umum, intifada I
telah meninggalkan trauma
yang kemudian dibalas menjadi peperangan pada intifada II. Para pejuang
intifada II adalah anak-anak yang memiliki trauma pada
masa
intifada I. Akibat trauma
intifada I,
hampir semua rakyat Palestina bercita-cita syahid dan sebagiannya dengan
melakukan bom bunuh diri. Tindakan ini merupakan
strategi jitu akibat ketidakberdayaan rakyat Palestina melawan tank-tank Israel. Melalui tindak
bom bunuh
diri,
seorang
pejuang akan mampu menjangkau daerah-daerah yang sulit d!angkau oleh peralatan
perang. Jika Israel
punya pesawat, Palestina punya semangat
syahid (El Sarraj
dan Butler, 2002).
Meskipun memiliki
semangat
syahid yang
serupa,
namun
para
perempuan pelaku bom bunuh
diri
mempunyai alasan-alasan yang beragam. Sebagian mereka
memiliki tujuan
agar cepat masuk
surga, karena seorang perempuan syahid termasuk di antara 72 gadis
surga
dan dapat membersihkan dosa-dosa
70 kerabatnya. Sebagian lain karena
alasan keluarga dan kerabat yang dibunuh oleh tentara
Israel, sehingga jalan untuk bertemu mereka kembali di surga adalah dengan tindakan
bom bunuh
diri (Berko dan Erez, 2005: 153-155).
Bukankah Islam melarang
tindakan bunuh diri? Eyad El Sarraj, direktur
Program
Kesehatan Mental
Komunitas Gaza,
menjelaskan,
syahid di Palestina
berbeda dengan bunuh diri untuk kepentingan sendiri, meskipun keduanya memiliki kesamaan
cara. Bagi El Sarraj, bom bunuh
diri adalah fenomena baru yang terjadi pada zaman sekarang dan tidak
ada presendennya pada masa Nabi Muhammad. Meskipun mu$i Mesir
dan Saudi melarang perbuatan ini, namun bagi El Sarraj,
hal ini masih dalam perdebatan. Pertimbangan utama tindakan bom bunuh diri adalah
ketidakberdayaan masyarakat Palestina
menghadapi persenjataan Israel.
Mengungkapkan kembali pengakuan beberapa
pejuang Palestina, El Sarraj
berujar,”if you want to a&ack an Israeli soldier-who is absolutely invulnerable in his bunker or tank-how else can you do it?” Selain itu, masyarakat
Palestina percaya bom bunuh diri adalah
bentuk pengorbanan diri untuk Allah
(El Sarraj dan Butler 2002:
73—74).
Jihad dalam batas mempertahankan tanah air adalah sesuatu yang
wajar dan dapat dimaklumi, namun menjadi berbahaya apabila terjadi distorsi konteks untuk
kepentingan
ideologis.
Chechnya dan Palestina
merupakan dua daerah kon#ik. Apakah
bantuan al Qaeda ke dua negara tersebut bisa
menyelesaikan masalah atau
justru memperkeruh masalah? Seruan
Umm
Osama
kepada
umat
Islam
untuk
membantu kedua negara tersebut memang perlu, tetapi apakah harus seruan untuk
perang? Bukankah bantuan pakaian dan makanan lebih diperlukan untuk mereka?
Jihad, yang semula bermakna defensif, tidak mustahil
akibat seruan Umm Osama, akan menjadi ofensif
di negara-negara lain, termasuk Indonesia. Artinya,
musuh-musuh
Chechnya dan Palestina
tidak menutup kemungkinan akan
d!adikan musuh bersama
Islam
radikal yang mengikuti Umm Osama di
negara mereka masing-masing. Pada akhir
tahun
2009,
seruan
jihad al
Qaeda
kepada
para perempuan berlanjut. Umaymah
Hasan Ahmed Muhammed Hasan, istri Ayman al Zawahiri, seorang
gembong al Qaedah Afghanistan, membuat sebuah seruan jihad kepada
perempuan Islam radikal di seluruh dunia.
Seruan ini berupa ajakan untuk
bersabar dalam mengikuti peperangan di daerah kon#ik seperti
Chechnya dan Palestina;
ajakan untuk tetap mengenakan jubah
dan
cadar
dan
ajakan untuk mempersiapkan anak- anak dan mengajak suami berjihad. Umaymah juga menegaskan bahwa jihad
adalah
kewajiban yang
wajib
dilaksanakan
baik oleh laki-laki maupun perempuan Islam
radikal (Dickey, 2010).
Seruan ini disambut oleh perempuan Islam
radikal di beberapa negara, termasuk Saudi Arabia. Awal Juni 2010, Hayla al Qassir, tokoh perempuan al Qaeda melakukan penyerangan kepada
bangsawan Saudi. Hayla gagal,
dan
ditangkap
oleh
aparat
Saudi
(al
Shorfa.com,
2010).
Secara internal, al Qaeda,
khususnya Osama bin
Laden
memang
tidak
menyukai keb!akan
yang diambil
oleh
bangsawan
Saudi.
Kekecewaan ini bermula
dari
penolakan
bangsawan
Saudi
atas
permintaan
Osama
membantu Saudi menghalau Irak dalam kasus krisis Kuwait. Saudi justru mengundang Amerika untuk menyelesaikan masalah tersebut (Delong-
Bas, 2004: 269—270).
Seruan Umaymah juga tersebar
di
internet.
La
Rose,
seorang
warga negara Amerika,
menyambut
seruan
jihad al Qaeda di internet.
La Rose
berniat ingin membantu
umat
Islam
yang menjadi
korban di daerah-daerah kon#ik.
Al
Qaeda
memberi komando kepada La Rose
untuk membunuh
seseorang
di
Swedia. La Rose berangkat
ke
Swedia. Namun, usaha perempuan Amerika
ini gagal. Dia ditangkap oleh pihak
aparat. Peristiwa ini dikenal dengan Jihad Jane
(csmonitor.com, 2010).
Jihad Jane adalah contoh bagaimana internet bisa digunakan sebagai pendukung seruan jihad yang
dapat
direspons
oleh
seluruh
penduduk radikal Islam dunia. Eksklusivitas perempuan Islam radikal tidak menghalangi mereka memperoleh informasi, karena kini internet
mampu diakses di dalam rumah
dengan
harga
yang relatif murah. Mobilisasi
di internet juga cukup efektif, karena sulit diendus
oleh pihak aparat.
Jihad Jane juga
memberikan hikmah kepada kita,
al
Qaeda
tak
jarang mendistorsi konteks. Niat awal La Rose ditujukan untuk membantu
muslim yang menderita di medan kon#ik,
tetapi justru ditugaskan untuk membunuh salah satu warga Swedia yang belum tentu bersalah.
Seperti halnya La Rose,
motif
jihad
di
Indonesia
agaknya mirip: menjadikan Amerika sebagai korban pemboman tak peduli dia bersalah atau tidak.
Di sini,
selain
mendistorsi
konteks,
al
Qaeda
telah
melakukan
politik
prasangka.
Di samping distorsi konteks
pada
masalah
kekinian,
gerakan
Islam radikal
kemungkinan akan
menjadikan preseden masa
lalu sebagai justi"kasi jihad pada masa sekarang.
Sebagai contoh seruan Umaymah, ketika mengajak perempuan Islam radikal untuk berjihad, ia mencontohkan beberapa sahabiyah
Nabi Muhammad berjihad dengan
gagah melebihi keberanian laki-laki pada masanya (Dickey 2010).
Sayyidah Sa"yyah adalah
tauladan pemberani terbaik bagi
perempuan. Ketika dia berpatroli di sebuah kawasan,
dan melihat seorang Yahudi bersiap menyerang muslim,
dia langsung menebas
Yahudi tersebut dengan
sebilah papan. Dia tak gentar sedikit
pun. Sayyidah Sa"yyah saat itu lebih berani daripada para pria zaman
sekarang.
Kutipan di atas tentu
akan
menjadi pembakar
semangat
para
perempuan Islam radikal untuk berjihad. Namun, apakah tidak
ada
contoh lain selain perang sebagai jalan jihad?
Sebenarnya, banyak literatur
klasik lain yang menceritakan jihad perempuan pada masa Nabi Muhammad, dan kemungkinan d!adikan
justi"kasi perekrutan perempuan radikal
Islam.
Abdul Ghani
bin
Abdul al Maqdisi (w. 1203), dalam Manaqib al Shahabiyyat, menceritakan
seseorang sahabiyah bernama Nusayba (Umm
‘Umara)
yang pergi ke peperangan Uhud
untuk
menolong
para
korban perang, dan justru mendapat duabelas luka di tubuhnya. Bersama Nusayba ada empat perempuan lain yang justru mengikuti peperangan tersebut. Salah satu
dari empat perempuan tersebut sedang hamil. Menurut ‘Aliyya Mustafa
Mubarak, dalam Sahabiyat Mujahidat, paling tidak ada 67 sahabiyah yang
ikut berperang pada masa Nabi Muhammad (Cook, 2005: 38).
Melalui pengisahan kembali preseden tersebut, Yusuf al ‘Ayyiri,
seorang al Qaeda jaringan
Saudi,
dalam
Dawr
al
Nisa’
"
Jihad al ‘Ada’, memfatwakan bahwa jihad
adalah
kewajiban yang
wajib
bagi laki-laki maupun perempuan.
Kewajiban ini disebabkan lemahnya
kekuatan
negara-negara berpenduduk muslim di dunia (Cook, 2005: 45-46). Sekali
lagi, di sini terlihat jelas bagaimana
sebuah masalah internal negara
dibawa ke konteks global. Yang paling mengkhawatirkan,
apabila hal ini dipahami oleh semua umat muslim di dunia sebagai sebuah doktrin
yang harus dilakukan, bukan sebagai
mis-interpretasi preseden Islam.
Agaknya preseden perempuan berperang pada
masa
Nabi
Muhammad perlu direinterpretasikan. Preseden tersebut memang cocok sebagai
pembakar semangat para perempuan
berperang di daerah- daerah kon#ik seperti
Chechnya dan Palestina.
Tetapi, selagi ada jalan damai yang bisa ditempuh,
sebaiknya hal itu d!alankan
terlebih dahulu. Penelisikkan
konteks
ketika
para
perempuan
berjihad
di
zaman
Nabi Muhammad perlu digali
lebih dalam, dengan cara
memahami
secara
holistik situasi pada masa itu.
Mujahidah
Indonesia
Apakah mungkin membuat sebuah
gambaran tentang peran perempuan radikal Islam berdasarkan kisah Paridah dan eskalasi global martir perempuan di atas? Kisah Paridah memberikan penjelasan bahwa
peran perempuan radikal
Islam dalam keluarga
adalah menjadi istri yang
baik
dan pengasuh anak yang b!ak. Ruang lingkup
istri hanya terbatas pada
sektor domestik. Namun, melihat kembali gambaran global martir perempuan, peran istri
juga membantu
suami
dalam
melaksanakan
misi jihad,
dalam
makna
melakukan aksi
yang dianggapnya benar dengan kekerasan. Transformasi ini bisa digunakan sebagai titik p!ak
untuk menganalisis diskursus
terorisme yang melibatkan perempuan di Indonesia.
Perempuan dalam
diskursus radikal
Islam
merupakan agen penting dalam
menciptakan genealogi kekerabatan. Dikatakan genealogi, karena tak jarang penciptaan proses kekerabatan ini, misalnya
perkawinan, dilaksanakan dengan
sistem
perjodohan, untuk
tidak mengatakan pemaksaan jodoh. Kemauan utama perempuan-perempuan
ini d!odohkan karena proses ini menurut anggapan mereka merupakan bagian
dari proses jihad.
Singh (2007:
80)
telah
melakukan penelusuran kekerabatan
tersebut secara detail. Noordin
Top menikah dengan Rais Rusdi, tokoh penting dalam jaringan
Jamaah Islamiyah. Fathur
Rahman al Gazi kawin
dengan kemenakan Amrozi, tokoh penting dalam bom Bali I. Saudara perempuan Nasir Abbas (teroris yang telah
taubat) dinikahkan dengan
Muklas (Paridah). Muklis, menikah
dengan anak perempuan Abdullah Sungkar, pendiri pesantren
Ngruki. Ipar Hambali, tokoh penting
Jamaah Islamiyah, menikah dengan Dadang
Suratman,
tokoh
kunci
Jamaah Islamiyah Asia Tenggara. Ipar Dulmatin menikah
dengan Hari Kuncoro, pembantu utama Noordin
M.
Top. Kekerabatan ini
akan
semakin kompleks apabila ditelusuri lebih dalam lagi.
Paling tidak,
sebagaimana analisis
Jones (Tempo
2011), kekerabatan ini
akan
memudahkan komunikasi. Hari
Kuncoro, misalnya, dekat dengan Umar Patek, karena dikenalkan oleh
Dulmatin,
sebagai kakak iparnya. Selain itu, masih
menurut
Jones, pola kekerabatan
ini
dapat
pula digunakan untuk
mengidenti"kasi kaitan antara
suatu group teroris tertentu dengan group
lain.
Sebagai contoh, kaitan antara
kelompok
Pamulang dengan kelompok Medan.
Ipar lain Dulmatin, Istiada menikah
dengan Ali Mi$ah alias Hamzah yang memegang
peran penting dalam perampokan bersenjata di CIMB Niaga Medan
pada 2010 lalu.
Pendeknya, mengutip Inspektur Jenderal Ansyaad Mbai, Head
of the National Counter- Terrorism Agency, “Kinship through marriages is the primary bond in terrorist
networks” (Tempo,
2011: 16).
Penjaga jaringan
tentu
harus
dimaknai
sebagai proses-proses reproduksi “dinasti
terorisme”, dalam arti semua komponen
berpotensi turut aktif terlibat dalam tindak pengeboman. Selama ini, di Indonesia, sepanjang penelisikan penulis, masih banyak terjadi pada
ranah domestik, misalnya yang
banyak
terjadi adalah keikutsertaan perempuan
dalam
menyembunyikan para teroris. Mun"atun, istri Noordin
M.
Top, pada Juni 2005, divonis tiga tahun penjara karena dituduh menyembunyikan
informasi tentang pengeboman Kedubes
Australia
(Singh
2007).
Putri
Munawaroh, istri teman Noordin
M. Top, divonis delapan tahun penjara pada 29 Juli
2010
lalu,
karena
dianggap
menyembunyikan
gembong teroris (Laporan Tahunan CRCS 2010). Pada level
ini,
perempuan
masih
menjadi suporter dalam kasus
terorisme di Indonesia.
Kapan para
perempuan ini
menjadi kombatan? Sebenarnya, apabila mau
berspekulasi, kombatan perempuan di
Indonesia dimungkinkan terjadi dalam
waktu dekat,
mengingat ruang
gerak terorisme yang dilakukan oleh
laki-laki, sudah
diketahui modus operandinya oleh Densus
88 bahkan sejak proses inisiasinya. Namun, hal ini tetap memerlukan analisis mendalam,
mengingat
psikologi
budaya
perempuan di Indonesia berbeda dengan mereka yang tinggal
di Timur Tengah. Analisis yang paling memungkinan adalah
melihat
potensi
kemungkinan perempuan Indonesia menjadi kombatan
dari
proses-
proses konstruksi pengetahuan.
Sebagaimana kisah
Paridah, suami
memegang peran sentral
dalam keluarga. Peran
ini
tak
sebatas kepala keluarga, tetapi
juga mencakup “komandan perjuangan”.
Selama ini, karena kuantitas anak-anak
dalam keluarga radikal Islam,
tugas istri masih
sebatas penjagaan dan pengajaran terhadap anak-anak mereka.
Tugas ini akan berubah ketika anak-anak mereka telah tumbuh menjadi dewasa. Pada tataran ini, tugas istri bisa saja
berubah
menjadi “komandan kedua” setelah
suami.
Sebagai “komandan
kedua”
berarti sang istri sewaktu-waktu dimungkinkan untuk terjun bersama
sang
suami
untuk
melakukan
aksi-aksi pengeboman.
Hal
ini
dapat
terjadi apabila
sang
suami
telah
memberikan mandat kepada sang istri. Sebagai contoh,
empat tahun lalu, katedral di San Pedro, Davao, Filipina
telah menjadi target pengeboman
teroris meskipun gagal
karena telah terendus
sebelumnya oleh Densus Filipina. Yang menarik, pelaku pengeboman ini adalah Rumaisah, atas
perintah Umar Patek. Rumaisah tak pelak adalah istri Umar Patek sendiri yang
pernah
dipenjara di kamp Pakistan
(Tempo, 2011). Dari kasus
ini,
jelas istri berpotensi
menjadi martir, dengan
syarat apabila suami
telah memerintahkan.
Selain suami, potensi perintah lain adalah dari sang
ustadz. Perlu diperhatikan, penggunaan jamaah, dalam kelompok Jamaah Islamiyah,
bukannya tanpa maksud. Jamaah di sini kurang tepat apabila sebatas
dipahami sebagai kelompok, grup atau organisasi. Konsep jamaah lebih tepat apabila
dimaknai
sebagaimana konsep jamaah dalam salat, yang terdiri dari imam, makmum dan rukun-rukun
ketertiban yang
harus
dipenuhi. Dalam salat, makmum harus
tunduk
pada
imam.
Makmum
terdiri dari dua kelompok, yaitu
laki-laki dan perempuan. Apabila imam batal
salat, makmum di belakangnya
bisa menggantikannya.
Konsep jamaah ini juga
berlaku pada proses-proses institusi- onalisasi doktrin,
yaitu pengajian.
Pengajian
dalam
tulisan
ini
tidak
bermakna general, artinya semua pengajian
mengajarkan terorisme. Namun, pengajian radikal Islam mengajarkan sejarah
kekerasan
Islam
tanpa ada kontekstualisasi. Melalui
proses
pengajian ini, para anggota jamaah mengalami proses embodiement,
manunggal
antara
ajaran dan praktik. Dalam bahasa Ward
(2008),
pengajian lebih
tepat
dikatakan
sebagai proses “pengeraman”. Pengeraman ini akan “pecah”
ketika ada perintah komando
dari sang ustadz.
Dua komando di atas menunjukkan pola patriarkat komunitas radikal Islam. Kuasa berada di tangan pihak laki-laki. Perlu ditegaskan, kuasa tertinggi berada di tangan sang ustadz.
Dengan demikian, apabila
sang suami meninggal, sang ustadz berkewajiban mencarikan pasangan perjuangan kembali. Melalui
pola
analisis ini,
kemungkinan aksi pemboman bermotif dendam
sangat kecil.
Kesimpulan
Apakah terorisme perempuan di Indonesia mungkin?
Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa kondisi yang menyebabkan
terorisme
di
Indonesia mungkin terjadi. Pertama, apabila tindak penangkapan teroris dilakukan melibatkan, atau lebih tepatnya, mengambil korban kerabat, terutama anak-anak teroris. Hal
ini
bisa dilakukan secara
sengaja
atau tanpa sengaja
saat
penangkapan
teroris
terjadi. Trauma
ini
akan
melahirkan sebuah
dendam,
dan
dengan
justi"kasi
tindak
bom bunuh
diri di Palestina dan Chechnya, akan
semakin menjadi kenyataan.
Kedua, bom bunuh diri akan mungkin dilakukan oleh istri pelaku
bom
di Indonesia apabila tidak ada lagi pihak yang peduli dengan masalah ekonomi
mereka. Lapangan
yang
semakin sempit
di Indonesia
akan membuat istri-istri pelaku bom, yang dipenjara
atau dieksekusi mati, akan
lebih menyegerakan bertemu suami-suami mereka di surga. Keberhasilan
hal ini
tergantung pada bujuk
rayu gembong-gembong
teroris yang memanfaatkan
situasi keterdesakan
ekonomi tersebut.
Oleh karena
itu, pemerintah
seharusnya
juga memikirkan
nasib istri-istri
dan anak-anak
pelaku terorisme, tidak hanya didukung
dengan bantuan uang, tetapi juga
program agar keluarga teroris tidak seperti pelaku teroris itu sendiri.
Ketiga, sang anak akan menjadikan
ayah, pelaku teror bom, sebagai
idola.
Perempuan, lebih tepatnya,
sang
ibu, berperan
penting
dalam proses
pendidikan
ini.
Untuk
itulah,
pihak
berwenang
perlu
menjelaskan kepada masyarakat
perbedaan penting
antara terorisme dan mujahid, minimal
agar
konteks
sosial
masyarakat bisa
mencegah
para
anak-anak teroris untuk mengikuti jejak sang ayah.
Tulisan ini
tidak
berpretensi untuk
memprediksi arah
baru
terorisme di Indonesia. Namun, uraian
ini lebih ingin mencoba memberikan
alternatif analisis baru terorisme
di Indonesia, yaitu pada aras keluarga. Selama ini, fokus kajian terorisme terpusat pada dua aras
utama: analisis jaringan dan analisis institusi.
Analisis jaringan berupaya menampilkan sebuah keterkaitan dan hubungan antara satu aksi
pemboman dengan aksi lain di satu
atau
beberapa
negara
berbeda
(Jongman 2007, Singh 2007, Vaughn
2008, Lutz dan Lutz 2008).
Pada satu sisi, analisis
ini sangat penting sebagai sarana untuk mengantisipasi
aksi
terorisme
dengan
memutus mata rantai terorisme di Indonesia.
Akan
tetapi,
pada
lain
sisi, pola organisasi dalam analisis
ini sering tidak bisa mendeteksi aksi- aksi pemboman yang
akan
terjadi, karena dalam komunitas
terorisme,
sebagaimana yang diuraikan sebelumnya, pola
yang dipakai adalah jamaah, bukan
organisasi.
Analisis institusi menekankan pada
proses-proses produksi dan reproduksi terorisme, khususnya di pesantren (Abuza 2003, 2007).
Kekhawatiran utama
analisis ini
adalah
keterjebakan
generalisasi, sangat mungkin
muncul
klaim
bahwa
semua
pesantren
mengajarkan terorisme. Kekurangan lain analisis
ini terletak pada kegagalan elaborasi
institusionalisasi pesantren atas
ajaran atau
tindakan terorisme. Sebagaimana analisis pertama, analisis
ini
masih
mengandalkan
pola-
pola tinjauan organisasi.
Melengkapi dua analisis
sebelumnya, tulisan ini ingin menegaskan bahwa analisis
terorisme seharusnya juga melihat secara etnogra" pola- pola embodiement dalam
lingkup
keluarga.
Etnogra"
keluarga
teroris
berupaya melihat bagaimana proses institusionalisasi bekerja
di
dalam
keluarga. Melalui analisis pembagian kerja dalam
keluarga teroris, proses- proses instusionalisasi dapat
diketahui dengan saksama.
Tiga
komponen
analisis
pembagian kerja
adalah
ayah, ibu
dan
anak. Bagaimana
posisi
sang
ayah, bagaimana
peran
sang
ibu, dan bagaimana proses instusionalisasi pengajaran mereka kepada anak-anak mereka. Di samping itu, pada tingkat
institusionalisasi yang lebih tinggi,
penting juga dianalisis bagaimana institusionalisasi ajaran-ajaran
di pengajian bekerja pada tubuh-tubuh keluarga radikal Islam ini. Apabila
analisis ini dapat ditasyrihkan secara detail,
deradikalisasi
keluarga
teroris merupakan sebuah keniscayaan.
Artikel M. Endy Saputro
0 Komentar Aje':
Posting Komentar