Menyikapi salah satu hasil
keputusan Sidang Tanwir ‘Aisyiyah yang diselenggarakan pada tanggal 19-20
Oktober lalu di Yogyakarta, yaitu tentang isu tentang Perempuan dan
Perlindungan Anak patut untuk diapresiasi lebih jauh.
Sejumlah isu kekerasan terhadap Perempuan (KTP) dan Anak belakangan memang kerap terjadi. Bahkan, menurut informasi yang di dapat melalui data Komisi Nasional permpuan (KOMNAS Perempuan) dan lembagan-lemabaga layanan terkait, jumlah angka kekerasan tersebut terus meningkat secara signifikan.
Sejumlah isu kekerasan terhadap Perempuan (KTP) dan Anak belakangan memang kerap terjadi. Bahkan, menurut informasi yang di dapat melalui data Komisi Nasional permpuan (KOMNAS Perempuan) dan lembagan-lemabaga layanan terkait, jumlah angka kekerasan tersebut terus meningkat secara signifikan.
Tak hanya itu, Badan Urusan
Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung (MA) mencatat, pada tahun 2010 saja terdapat sebanyak 148.486
perceraian atau sekitar 52.07% yang disebabkan karena meninggalkan kewajiban.
Bila meninggalkan kewajiban dikategorikan sebagai penelantaran sebagaimana
disebutkan dalam UU No.23 Tahun 2004, maka dapat dipastikan lebih dari 50%
perkara perceraian disebabkan karena tindak kekerasan terhadap istri/perempuan
(termasuk di dalamnya perkawinan anak).
Sejumlah isu yang diangkat diantaranya marjinalisasi peran perempuan, nikah dini, nikah sirri, nikah mut'ah, poligami, cerai di luar sidang, gugat cerai, khitan perempuan, penggunaan alat kontrasepsi IUD, fasektomi dan tubektomi, hamil karena perkosaan dan inces, kekerasan terhadap perempuan (KTP), kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Sedangkan isu tentang perlindungan anak seperti hak anak-anak, hak imunisasi, kekerasan terhadap anak dalam keluarga, di sekolah maupun di masyarakat, anak jalanan, pekerja anak, perkelahian antar anak, hak-hak perdata anak, anak tanpa akte kelahiran, serta mkinimnya perlindungan anak dari gempuran media.
Persoalan yang bersifat
kebangsaan di atas, tentunya bukan menjadi pekerjaan rumah dan tanggung jawab
‘Aisyiyah semata. Selain menjadi tanggung jawab Negara yang ditelurkan melalaui
Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974 serta Undang-Undang penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga No. 23 tahun 2004, organisasi masyarakat (Ormas) dan lembaga
terkait lainnya pun dihimbau agar turut mempunyai andil dan bagian dalam
menyikapi isu kekerasan tersebut. Karena semakin banyak Ormas dan lembaga
terkait yang bekerja sama dan care untuk menghapuskan kekerasan sebagai
jalan dakwah, tentu semakin meminimalisir jumlah kekerasan yang akan terjadi
selanjutnya.
Ashabul Fadhli
Dimuat oleh Harian Republika, 2 November 2012
0 Komentar Aje':
Posting Komentar